Pakar HTN Tegaskan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 Bersifat Prospektif dan Tidak Berlaku Surut

Press Release Nomor: 850/ XII / HUM.6.1.1./2025/Bidhumas
Hari/Tanggal: Minggu, 14 Desember 2025
Lokasi: Jakarta
Media: Sumateranewstv. Com.

JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menguji sejumlah ketentuan terkait penugasan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di luar institusi kepolisian terus menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Beragam tafsir dan pandangan muncul, mulai dari kalangan akademisi, praktisi hukum, hingga pengamat kebijakan publik. Menanggapi polemik tersebut, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul Jakarta, Prof. Dr. Juanda, S.H., M.H., memberikan penegasan bahwa putusan MK tersebut bersifat prospektif dan tidak berlaku surut.

Menurut Prof. Juanda, pandangan yang disampaikan Menteri Hukum Republik Indonesia, Dr. Suparman Andi Agtas, S.H., yang menyatakan bahwa Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tidak berlaku surut, merupakan pandangan yang tepat dan selaras dengan prinsip dasar hukum ketatanegaraan Indonesia. Ia menilai, kesalahpahaman dalam memahami putusan MK dapat berimplikasi serius terhadap kepastian hukum dan stabilitas ketatanegaraan.

Karakteristik Putusan Mahkamah Konstitusi

Prof. Juanda menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan dan kewenangan yang sangat spesifik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kewenangan MK diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 24C ayat (1).

“Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final,” jelas Prof. Juanda. Menurutnya, sifat final ini berarti bahwa putusan MK tidak dapat diajukan upaya hukum lanjutan dan langsung memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa karakter final tersebut diperkuat kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding).

“Final dan mengikat artinya putusan itu langsung berlaku sejak dibacakan, mengikat bagi semua pihak, dan tidak memerlukan tindakan hukum tambahan untuk memperoleh kekuatan hukum,” tegasnya.

Prinsip Non-Retroaktif dalam Putusan MK

Salah satu pokok penting yang disoroti Prof. Juanda adalah prinsip non-retroaktif atau tidak berlaku surut dalam putusan MK. Prinsip ini, menurutnya, merupakan prinsip fundamental dalam hukum yang bertujuan menjaga kepastian hukum dan keadilan.

Ia merujuk pada Pasal 47 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara eksplisit menyatakan bahwa putusan MK tidak berlaku surut. Dengan demikian, daya ikat dan daya berlaku putusan MK hanya bersifat ke depan sejak putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

“Putusan MK tidak berlaku surut. Artinya, putusan tersebut hanya memiliki daya berlaku ke depan sejak dibacakan dan tidak dapat diberlakukan terhadap peristiwa hukum yang terjadi sebelum putusan itu ada,” ujar Prof. Juanda.

Menurutnya, prinsip non-retroaktif ini merupakan salah satu pilar utama dalam negara hukum (rechtstaat). Jika prinsip ini dilanggar, maka akan terjadi ketidakpastian hukum yang dapat merugikan banyak pihak dan merusak tatanan hukum nasional.

Tidak Berimplikasi pada Jabatan yang Telah Ada

Dalam konteks Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, Prof. Juanda menegaskan bahwa putusan tersebut tidak memiliki implikasi hukum terhadap anggota Polri aktif yang telah menduduki jabatan di luar kepolisian sebelum putusan tersebut diucapkan, yakni pada tanggal 13 November 2025 pukul 11.35 WIB.

“Sejak awal saya sudah menyampaikan bahwa putusan ini bersifat prospektif. Sangat keliru jika ada pandangan yang menyatakan bahwa putusan MK ini berdampak pada jabatan yang telah ada sebelum putusan dibacakan,” katanya.

Ia menilai, anggapan bahwa putusan MK dapat membatalkan atau menggugurkan jabatan yang telah diemban oleh anggota Polri aktif sebelum putusan diucapkan merupakan kekeliruan besar dalam memahami hukum.

“Putusan MK tidak berlaku ke belakang. Jika itu dipaksakan berlaku surut, maka prinsip-prinsip dasar hukum akan runtuh. Kepastian hukum akan hancur dan keadilan substantif tidak akan tercapai,” lanjut Prof. Juanda.

Penafsiran Amar Putusan MK

Prof. Juanda juga mengingatkan pentingnya membaca dan menafsirkan amar putusan MK secara utuh dan tidak sepotong-potong. Menurutnya, kesalahan tafsir sering kali terjadi karena hanya mengambil sebagian kecil dari amar putusan tanpa memahami keseluruhan konteks hukum yang diputuskan.

Dalam Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, MK menyatakan bahwa yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 hanyalah frasa tertentu, yakni frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”.

“Artinya, hanya frasa tersebut yang dinyatakan inkonstitusional. Ketentuan lain yang tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat,” jelas Prof. Juanda.

Dengan demikian, menurutnya, anggota Polri aktif masih dimungkinkan untuk menduduki jabatan tertentu di luar kepolisian, sepanjang penugasan tersebut memiliki korelasi dengan tugas dan fungsi kepolisian serta dilakukan berdasarkan mekanisme penugasan yang sah.

Dasar Hukum Lain Penugasan Anggota Polri

Selain merujuk pada Putusan MK, Prof. Juanda juga menegaskan bahwa penugasan anggota Polri aktif di luar institusi kepolisian memiliki dasar hukum lain yang masih berlaku. Di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) serta Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

“Dalam peraturan perundang-undangan tersebut secara tegas diatur bahwa terdapat jabatan-jabatan tertentu yang dapat diisi oleh anggota Polri dan TNI, tentu dengan syarat dan ketentuan yang jelas,” paparnya.

Menurut Prof. Juanda, keberadaan aturan tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia masih membuka ruang penugasan bagi anggota Polri di luar institusi kepolisian, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip konstitusional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pentingnya Pemahaman yang Proporsional

Di akhir pernyataannya, Prof. Juanda menekankan pentingnya memahami Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 secara cermat, utuh, dan proporsional. Ia mengingatkan agar tidak terjadi penggiringan opini yang menyesatkan di ruang publik.

“Putusan MK harus dipahami sebagai bagian dari sistem hukum yang bertujuan memperkuat tata kelola pemerintahan dan penegakan konstitusi, bukan untuk menciptakan kekacauan atau ketidakpastian hukum,” ujarnya.

Ia juga mengajak seluruh pihak, baik akademisi, praktisi hukum, maupun masyarakat umum, untuk mengedepankan pendekatan ilmiah dan konstitusional dalam menilai setiap putusan MK.

“Oleh karena itu, menilai putusan MK ini harus dilakukan secara cermat, proporsional, dan sesuai prinsip hukum. Putusan ini tidak menghapus atau membatalkan jabatan yang telah ada sebelumnya,” pungkas Prof. Juanda.

Dengan penegasan tersebut, diharapkan polemik yang berkembang di tengah masyarakat dapat diredam dan tidak menimbulkan kesalahpahaman yang berlarut-larut. Kepastian hukum dan stabilitas ketatanegaraan tetap harus menjadi pijakan utama dalam setiap diskursus publik terkait putusan Mahkamah Konstitusi.

Editor Pariyo Saputra // Redaksi Sumateranewstv. Com