Langkat, Sumatera Utara, (Sumateranewstv. Com) — Minggu, 30 November 2025
Bencana banjir besar yang menghantam Kabupaten Langkat sejak Rabu, 26 November 2025, telah menjelma menjadi sebuah krisis kemanusiaan yang tak lagi dapat dianggap sebagai situasi darurat biasa. Air yang terus menggenang selama empat hari berturut-turut bukan hanya menelan rumah-rumah warga, tetapi juga memutus akses logistik, melumpuhkan aktivitas ekonomi, dan menghilangkan sumber penghidupan dasar masyarakat. Di Desa Pematang Tengah, Kecamatan Tanjung Pura, kondisi kini memasuki fase yang jauh lebih mengerikan: warga terancam kelaparan karena tidak ada bantuan apa pun yang masuk hingga hari ini.
Dari laporan lapangan yang dihimpun pada Minggu, 30 November 2025, kondisi di desa tersebut sudah mencapai titik kritis. Ketinggian air yang mencapai 1,5 meter hingga 3 meter membuat wilayah itu sepenuhnya terisolasi. Akses kendaraan tidak memungkinkan, sedangkan perahu yang tersedia sangat terbatas dan hanya mampu digunakan dalam keadaan darurat tertentu. Toko-toko di desa tutup total karena air merendam seluruh bangunan. Warung kecil warga hanyut dibawa arus. Stok makanan yang tersisa di rumah-rumah telah habis sejak dua hari lalu.
Situasi ini tidak hanya menempatkan warga dalam kondisi kebingungan, tetapi juga dalam rasa takut akan kelaparan yang sesungguhnya. Dalam kondisi darurat bencana, makanan dan air bersih adalah kebutuhan utama yang harus segera dipenuhi, namun hingga hari keempat banjir berlangsung, tak ada satupun bantuan logistik yang disalurkan kepada masyarakat Desa Pematang Tengah.
Krisis yang Tidak Bisa Lagi Disebut “Banjir”
Warga di Desa Pematang Tengah menyebut situasi saat ini bukan lagi banjir semata. Mereka menganggapnya sebagai krisis kelaparan yang nyata. Rumah-rumah yang terendam membuat warga hanya bertahan di lantai dua atau atap rumah. Beberapa keluarga bahkan harus membuat rakit darurat menggunakan papan kayu dan drum plastik untuk menyelamatkan diri.
Sebagian warga bertahan dengan meminum air hujan dan memakan makanan seadanya yang diselamatkan sebelum banjir mencapai puncaknya. Namun kini, setelah empat hari bertahan tanpa suplai makanan, stamina masyarakat mulai menurun. Anak-anak mulai menunjukkan tanda-tanda kekurangan nutrisi, seperti lemas, pusing, dan menangis karena lapar. Lansia dan ibu hamil mengalami kondisi yang lebih mengkhawatirkan.
Desa Pematang Tengah terletak tidak jauh dari pusat Kecamatan Tanjung Pura. Namun ironisnya, kedekatan geografis tersebut tidak berarti apa-apa karena tidak ada akses darat maupun air yang aman untuk membawa bantuan ke desa itu. Keadaan semakin memburuk ketika arus banjir semakin deras dan memperluas luasan genangan.
Pernyataan dan Kesaksian dari Lapangan
Alfarizi DMC, relawan yang melakukan wawancara langsung dengan warga terdampak, memberikan kesaksian yang sangat memprihatinkan. Ia menyampaikan bahwa situasi di lapangan benar-benar kritis dan berada di luar bayangan banyak pihak yang tidak melihat kondisi secara langsung.
“Hingga Minggu, 30 November 2025, tidak ada bantuan apa pun yang disalurkan ke warga Desa Pematang Tengah. Sembako sudah habis. Warga tidak punya pilihan. Jika pemerintah terus diam, masyarakat Tanjung Pura bukan hanya kebanjiran—mereka akan mati kelaparan.”
Pernyataan tersebut menggambarkan betapa mendesaknya situasi di sana. Tidak adanya bantuan dari pemerintah, baik kabupaten, provinsi, maupun pusat, menandakan adanya kelalaian dalam penanganan bencana yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Fakta Lapangan yang Ditemukan
Berikut fakta-fakta yang terkonfirmasi dari lokasi bencana:
- Banjir telah berlangsung sejak 26 November 2025 dan masih tinggi hingga 30 November 2025, memasuki hari keempat tanpa penurunan signifikan.
- Ketinggian air mencapai 1,5–3 meter, merendam seluruh permukiman dan memutus seluruh akses keluar-masuk desa.
- Belum ada satu pun bantuan dari pemerintah yang masuk ke Desa Pematang Tengah hingga hari ini.
- Persediaan sembako habis total. Warga tidak memiliki akses membeli makanan karena seluruh warung dan pasar lumpuh.
- Kelompok rentan seperti balita, lansia, ibu hamil, dan penyandang disabilitas menjadi pihak yang paling terancam keselamatannya.
Selain fakta-fakta di atas, kondisi kesehatan warga mulai menurun. Infeksi kulit mulai muncul akibat terlalu lama terpapar air kotor. Beberapa warga mengeluhkan demam, diare, dan batuk akibat buruknya sanitasi. Air bersih sama sekali tidak tersedia, bahkan untuk sekadar minum atau mencuci bahan makanan. Situasi ini mengarah pada ancaman wabah penyakit pascabanjir yang semakin dekat.
Pertanyaan Serius untuk Pemerintah
Melihat situasi yang semakin parah, pertanyaan besar muncul dari masyarakat dan relawan:
Sampai kapan warga harus menunggu?
Apakah harus ada korban jiwa dulu baru bantuan datang?
Apakah nyawa warga Desa Pematang Tengah tidak cukup penting untuk diselamatkan hari ini?
Dalam kondisi bencana yang mematikan seperti ini, ketepatan dan kecepatan respon pemerintah menjadi penentu nyawa. Namun minimnya aksi nyata membuat warga merasa diabaikan. Penduduk desa bertanya-tanya mengapa wilayah lain mendapatkan bantuan dengan cepat, sementara desa mereka seolah tidak terlihat di peta respons darurat.
Kenyataan ini memperlihatkan lemahnya koordinasi antar instansi terkait, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Padahal, tanggung jawab utama penyelamatan warga dalam kondisi bencana adalah kewajiban negara melalui pemerintah.
Pembiaran seperti ini bukan hanya bentuk kelalaian administratif. Ini adalah kelalaian yang bisa berujung pada hilangnya nyawa warga negara. Warga yang sudah kelelahan dan kelaparan hanya bisa menunggu tanpa kepastian kapan bantuan akan tiba.
Banjir dan Kelaparan: Dua Ancaman Mematikan
Banjir yang merendam pemukiman warga bagi sebagian orang mungkin terlihat sebagai bencana fisik yang dapat dilihat secara kasat mata. Namun bagi warga Desa Pematang Tengah, banjir hanyalah permulaan. Ancaman yang jauh lebih berbahaya adalah kelaparan yang tidak terlihat namun perlahan-lahan membunuh kemampuan tubuh manusia untuk bertahan.
Setiap jam yang berlalu tanpa bantuan semakin memperburuk kondisi. Balita yang sebelumnya sehat kini menjadi sangat lemah karena tidak mengonsumsi makanan yang cukup. Ibu hamil kehilangan energi karena berhari-hari tidak makan secara layak. Lansia dengan kondisi kesehatan yang sudah rentan kini berada dalam situasi yang paling membahayakan.
Dalam banyak bencana di dunia, kombinasi banjir dan kelaparan merupakan penyebab terbesar kematian, melebihi risiko tenggelam. Hal ini perlu menjadi perhatian serius karena situasi serupa kini sedang terjadi di Tanjung Pura.
Tuntutan Mendesak untuk Pemerintah dan BNPB
Melihat kondisi yang semakin mendesak, masyarakat dan relawan menuntut pemerintah untuk segera mengambil tindakan nyata tanpa menunda waktu. Adapun tuntutan yang disampaikan adalah sebagai berikut:
- Mengirim bantuan pangan darurat segera, berupa beras, makanan siap saji, air bersih, susu bayi, dan kebutuhan pokok lainnya.
- Menurunkan perahu karet, perahu mesin, atau alat evakuasi lainnya untuk menembus wilayah yang terisolasi.
- Membuka posko logistik yang berada di titik terdekat dari Desa Pematang Tengah, bukan hanya di pusat kecamatan.
- Menyediakan layanan kesehatan darurat, termasuk tenaga medis, obat-obatan, dan pemeriksaan kesehatan untuk kelompok rentan.
Jika tindakan ini tidak segera dilakukan, bukan hanya kondisi warga yang memburuk, tetapi juga akan menciptakan kekacauan sosial karena kelaparan dapat memicu panic disorder dan tindakan ekstrem dari warga yang berjuang untuk bertahan hidup.
Ajakan Solidaritas untuk Indonesia
Dalam kondisi genting seperti ini, gotong royong dan solidaritas kemanusiaan menjadi kekuatan terbesar. Kami mengajak seluruh relawan, organisasi kemanusiaan, komunitas sosial, lembaga keagamaan, dan media massa untuk ikut bergerak membantu warga Desa Pematang Tengah dan desa-desa lain yang terdampak banjir.
Keterlibatan masyarakat luas bukan hanya membantu mempercepat bantuan, tetapi juga membantu menekan pemerintah agar bertindak sesuai tanggung jawabnya. Dukungan publik dapat memastikan bahwa suara masyarakat yang terisolasi tetap terdengar dan tidak tenggelam oleh laporan resmi yang sering kali tidak menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan.
Relawan-relawan yang telah berada di lokasi membutuhkan dukungan logistik, tenaga, dan publikasi untuk terus membantu warga secara langsung. Bantuan berupa makanan, air bersih, tenda darurat, pakaian kering, selimut, dan perlengkapan kesehatan sangat dibutuhkan.
Kontak Lapangan
Alfarizi DMC — Narasumber & Wawancara Lapangan
Desa Pematang Tengah, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat
Penutup: Banjir atau Tragedi Kelaparan?
Jika negara hanya hadir dalam pidato, tetapi tidak hadir di lokasi bencana, maka tragedi yang terjadi di Desa Pematang Tengah bukan lagi sekadar banjir, melainkan bencana kemanusiaan yang dipertontonkan di depan mata.
Banjir adalah musibah. Namun ketika banjir bertemu kelaparan dan pemerintah tidak bertindak, itu bukan lagi musibah. Itu adalah tragedi yang dapat dicegah tetapi dibiarkan terjadi.
Setiap menit adalah pertarungan hidup dan mati bagi warga Desa Pematang Tengah. Perjuangan mereka untuk tetap bertahan tanpa makanan adalah bukti bahwa mereka membutuhkan pertolongan sesegera mungkin. Tanggung jawab menyelamatkan nyawa tidak dapat ditunda, dan pemerintah harus segera turun tangan sebelum terlambat.
Sumber: Komite Wartawan Indonesia Perjuangan (KWIP)
Editor: Pariyo Saputra / Redaksi Sumateranewstv. Com
