BANDAR LAMPUNG, Sumateranewstv. Com — Kasus dugaan penarikan paksa satu unit mobil Mitsubishi Pajero hitam tahun 2022 bernomor polisi BE 88 NF yang terjadi pada 26 September 2025 hingga kini terus bergulir dan menjadi perhatian publik. Keluarga korban bersama kuasa hukum menilai peristiwa tersebut sarat dengan dugaan pelanggaran hukum, mulai dari tindakan pemaksaan, intimidasi, hingga dugaan penyalahgunaan data pribadi oleh pihak perusahaan pembiayaan.
Kasus ini tidak hanya menyangkut persoalan perdata antara debitur dan kreditur, tetapi juga telah memasuki ranah pidana. Hal ini ditandai dengan laporan resmi yang dilayangkan ke Kepolisian Daerah (Polda) Lampung. Kuasa hukum korban, Ivin Aidyan Firnandez, S.H., M.H., menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara transparan, profesional, dan adil, tanpa memihak kepada pihak mana pun.
Menurut keterangan yang disampaikan Ivin kepada awak media, kendaraan Mitsubishi Pajero tersebut sejatinya merupakan mobil inventaris milik rekan bisnis kliennya. Kendaraan itu kemudian dipinjamkan kepada Umi Wahidatin untuk keperluan tertentu. Dalam perjalanan waktu, mobil tersebut digunakan oleh Erkatadi, yang merupakan suami dari Umi Wahidatin.
Peristiwa dugaan penarikan paksa bermula pada Kamis malam, 26 September 2025, sekitar pukul 19.00 WIB. Saat itu, Erkatadi memarkirkan mobil Pajero di area Masjid Airan Raya, Bandar Lampung. Namun, ketika hendak kembali masuk ke kendaraan, Erkatadi tiba-tiba dihadang oleh sejumlah orang yang mengaku sebagai debt collector atau pihak yang mendapat kuasa dari perusahaan pembiayaan BCA Finance (BCF).
“Klien kami dihadang dan dilarang masuk ke dalam mobil. Mereka mengaku memiliki kuasa untuk mengamankan kendaraan tersebut sebagai barang jaminan. Bahkan, ada ancaman bahwa kendaraan akan langsung dibawa ke Polda Lampung jika tidak diserahkan,” ujar Ivin saat memberikan keterangan.
Situasi tersebut membuat Erkatadi merasa tertekan dan takut. Demi mempertahankan kendaraan, Erkatadi memilih untuk menunggu kehadiran Ivin selaku pihak yang mengaku memiliki kuasa atas kendaraan tersebut. Tidak lama kemudian, Ivin tiba di lokasi kejadian untuk mencari penjelasan dan menyelesaikan persoalan secara baik-baik.
Dalam keterangannya, Ivin menyebutkan bahwa setelah dirinya tiba, Erkatadi meminta izin kepada pihak yang mengaku debt collector untuk membawa kendaraan ke Polda Lampung guna menyelesaikan persoalan secara terbuka dan aman. Permintaan tersebut akhirnya diizinkan, dan rombongan pun bergerak menuju Polda Lampung.
Setibanya di ruang piket Paminal Polda Lampung, diketahui bahwa pihak-pihak yang mengaku memiliki kuasa tersebut terdiri dari Ahmad Saidar selaku Direktur PT Sempurna Jaya Wayka Mandiri Lampung, bersama beberapa orang lainnya, yakni Muhtar, Reno, Rido alias Entong, dan Yanto. Mereka menyatakan bertindak atas dasar surat kuasa dari BCA Finance.
Ivin menjelaskan bahwa proses mediasi sempat dilakukan di lingkungan Polda Lampung. Namun hingga sekitar pukul 22.00 WIB, tidak tercapai kesepakatan antara dirinya dengan Ahmad Saidar dan rekan-rekannya. Ivin mengaku memiliki kuasa dari PT Berkat Andalan Sejahtera, sementara pihak lain tetap bersikeras agar mobil Pajero tersebut diserahkan malam itu juga.
“Kami tidak menemukan titik temu. Mereka tetap memaksa agar mobil diserahkan saat itu juga, padahal menurut kami prosedurnya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” jelas Ivin.
Karena tidak ada kesepakatan, situasi semakin memanas. Ivin mengungkapkan bahwa dirinya dilarang membawa mobil tersebut pulang. Bahkan, barang-barang pribadi yang berada di dalam mobil terpaksa dipindahkan ke kendaraan lain. Ia juga menyebut bahwa Ahmad Saidar tidak mengizinkannya untuk mengunci mobil Pajero tersebut.
“Pintu-pintu mobil ditahan dan dibuka secara paksa. Saya berada dalam posisi tertekan dan akhirnya terpaksa meninggalkan mobil di halaman parkir Polda Lampung dalam kondisi tidak terkunci,” ungkap Ivin.
Keesokan harinya, Jumat, 27 September 2025, dengan status kendaraan yang disebut sebagai “numpang parkir”, Ivin bermaksud mengambil mobil Pajero tersebut. Namun upaya tersebut kembali menemui hambatan. Mobil Pajero dihalangi oleh dua kendaraan lain yang diduga milik Ahmad Saidar dan rombongannya.
“Di bagian belakang dihadang oleh Toyota Innova Reborn warna silver, sedangkan di bagian depan dihadang oleh Honda Brio warna merah. Posisi mobil Pajero benar-benar terkepung dan tidak bisa keluar,” kata Ivin.
Tidak hanya itu, Ivin juga mengungkapkan bahwa sejumlah orang yang diduga sebagai debt collector masuk ke dalam mobil Pajero dan dengan sengaja menyalakan lampu kabin dalam waktu lama. Akibatnya, aki mobil menjadi tekor dan kendaraan tidak dapat dioperasikan.
Merasa dirugikan dan melihat adanya dugaan tindak pidana, Ivin akhirnya menempuh jalur hukum. Pada 28 September 2025, ia secara resmi melaporkan peristiwa tersebut ke Polda Lampung. Laporan itu tercatat dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan (STTLP) Nomor: STTLP/B/691/X/SPKT/POLDA LAMPUNG.
Dalam laporan tersebut, Ivin melaporkan dugaan tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini mengatur tentang perbuatan memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang, yang dapat dikenai sanksi pidana.
Ivin menjelaskan bahwa Ahmad Saidar selaku Direktur PT Sempurna Jaya Wayka Mandiri Lampung diduga bertindak berdasarkan surat kuasa dari BCA Finance. Dalam surat kuasa tersebut, BCA Finance yang diwakili oleh Teguh Handoni Saputra selaku Area Remedial Officer, memberikan perintah untuk “mengamankan barang jaminan dengan seketika berupa satu unit kendaraan beserta perlengkapannya untuk diserahkan kembali kepada pihak BCA Finance di Jakarta Selatan” pada tanggal 26 September 2025.
Namun demikian, Ivin menilai bahwa surat kuasa tersebut tidak serta-merta dapat dijadikan dasar untuk melakukan penarikan kendaraan secara paksa di lapangan, apalagi disertai dengan dugaan intimidasi dan pemaksaan.
“Ada aturan yang jelas terkait penarikan kendaraan bermotor oleh perusahaan pembiayaan. Tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang, apalagi dengan cara-cara yang berpotensi melanggar hukum pidana,” tegasnya.
Selain dugaan pemerasan, pihak keluarga korban juga mempertanyakan adanya dugaan kebocoran data pribadi. Mereka menilai bahwa pihak tertentu dapat mengetahui lokasi kendaraan secara detail, sehingga memunculkan dugaan penyalahgunaan atau kebocoran data konsumen oleh pihak perusahaan pembiayaan.
Isu perlindungan data pribadi ini menjadi sorotan tersendiri, mengingat data konsumen seharusnya dilindungi oleh undang-undang dan hanya digunakan untuk kepentingan yang sah sesuai ketentuan hukum.
Ivin menegaskan bahwa pihaknya tidak menolak kewajiban hukum jika memang terdapat wanprestasi atau persoalan perdata. Namun, ia menekankan bahwa semua proses harus dilakukan sesuai prosedur hukum, tanpa intimidasi, ancaman, maupun tindakan sepihak.
“Kami tidak anti hukum. Jika memang ada kewajiban yang harus diselesaikan, mari kita selesaikan melalui mekanisme yang sah. Jangan ada tindakan premanisme yang berlindung di balik surat kuasa,” ujar Ivin dengan tegas.
Ia juga meminta agar aparat penegak hukum di Polda Lampung dapat menangani laporan ini secara objektif, transparan, dan profesional. Menurutnya, penanganan kasus ini akan menjadi preseden penting bagi perlindungan hukum masyarakat, khususnya konsumen jasa pembiayaan.
“Kami berharap Polda Lampung dapat mengusut tuntas kasus ini. Penegakan hukum harus memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak,” tambahnya.
Kasus dugaan penarikan paksa kendaraan ini pun mendapat perhatian luas dari masyarakat. Banyak pihak menilai bahwa praktik penarikan kendaraan oleh debt collector masih kerap menimbulkan polemik dan berpotensi melanggar hukum jika tidak dilakukan sesuai prosedur.
Pakar hukum menilai bahwa perusahaan pembiayaan dan pihak ketiga yang diberi kuasa harus mematuhi aturan yang telah ditetapkan, termasuk ketentuan Mahkamah Konstitusi dan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait eksekusi jaminan fidusia.
Dengan bergulirnya laporan ini di Polda Lampung, publik menantikan langkah tegas dan profesional aparat penegak hukum dalam mengungkap fakta-fakta hukum yang terjadi. Kasus ini diharapkan dapat menjadi momentum perbaikan dalam praktik penarikan kendaraan, sekaligus memperkuat perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia.
(*)
