KWIP Merangin Kutuk Keras Aksi Premanisme terhadap Wartawan di Dam Betuk

Merangin, (Sumatera News TV. Com) – Gelombang kecaman terus mengalir pasca terjadinya tindakan intimidasi dan perampasan alat kerja yang dialami oleh salah satu jurnalis Nusantara TV (NTV), Dodi Saputra, ketika tengah meliput kegiatan resmi Wakil Bupati Merangin di kawasan Dam Betuk, Desa Tambang Baru, Kecamatan Tabir Lintas, pada Jumat (7/11/2025).

Insiden ini tidak hanya memantik amarah para jurnalis di Kabupaten Merangin, tetapi juga menggugah solidaritas dari berbagai organisasi profesi wartawan di Provinsi Jambi. Salah satu suara keras datang dari Komite Wartawan Indonesia Perjuangan (KWIP) DPC Merangin yang menilai bahwa peristiwa tersebut merupakan bentuk nyata dari premanisme yang mengancam kebebasan pers di daerah.

KWIP Merangin Mengecam Keras dan Desak Aparat Bertindak Tegas

Melalui pernyataan resminya, Ketua KWIP Merangin, Ady Lubis, menyampaikan kecaman keras terhadap aksi kekerasan yang menimpa rekan seprofesinya. Ia menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap jurnalis Dodi Saputra bukan hanya perbuatan kriminal, tetapi juga merupakan bentuk pelecehan terhadap profesi wartawan serta upaya membungkam suara kebenaran.

“Kami selaku sesama jurnalis sangat menyesalkan tindakan premanisme yang dilakukan oleh sekelompok orang yang diduga dibayar oleh pelaku tambang ilegal di kawasan Dam Betuk. Ini bukan hanya tindakan kriminal, tapi juga bentuk pelecehan terhadap profesi wartawan,” tegas Ady Lubis dalam pernyataannya, Jumat malam (7/11/2025).

Menurutnya, apa yang dialami Dodi Saputra merupakan sebuah tamparan keras bagi dunia pers di daerah, sekaligus mencederai semangat demokrasi dan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Ia menilai, peristiwa ini tidak bisa dianggap sepele karena menyangkut keselamatan dan martabat profesi jurnalis yang bekerja untuk kepentingan publik.

Kronologi Intimidasi dan Perampasan Alat Liputan

Berdasarkan informasi yang dihimpun, insiden bermula ketika Dodi Saputra tengah meliput kegiatan Wakil Bupati Merangin di kawasan Dam Betuk. Setelah kegiatan selesai, Dodi berencana meninggalkan lokasi. Namun, sekelompok orang berjumlah sekitar sepuluh orang tiba-tiba menghadangnya.

Mereka melakukan tindakan intimidatif, memaksa Dodi untuk menyerahkan ponsel miliknya yang digunakan sebagai alat kerja. Setelah berhasil merampas ponsel tersebut, para pelaku kemudian menghapus seluruh rekaman video hasil liputan yang telah diambil. Tidak hanya itu, mereka juga sempat melontarkan ancaman agar Dodi tidak memberitakan aktivitas di kawasan tambang ilegal tersebut.

Tindakan tersebut jelas merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kemerdekaan pers serta memberikan perlindungan hukum bagi jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya. Dalam undang-undang tersebut, disebutkan secara tegas bahwa setiap orang yang menghalangi atau menghambat tugas wartawan dapat dikenakan sanksi pidana.

Kebebasan Pers Bukan untuk Dihambat

KWIP Merangin menilai bahwa aksi premanisme seperti ini merupakan bentuk nyata dari upaya membungkam kerja jurnalistik yang seharusnya mendapat perlindungan hukum. Ady Lubis menyatakan, “Kebebasan pers adalah pilar penting demokrasi. Wartawan bekerja untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadi. Jika kebebasan itu dihambat dengan kekerasan, maka demokrasi kita sedang sakit.”

Ia juga menambahkan bahwa pihak kepolisian memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menindak para pelaku agar kejadian serupa tidak terulang. “Kami meminta kepada Kapolres Merangin untuk segera menindak tegas para pelaku dan jangan kalah dengan preman. Apalagi ini terjadi di kawasan tambang ilegal yang sudah lama menjadi sorotan publik,” tegasnya.

Menurutnya, lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku intimidasi terhadap jurnalis hanya akan memperburuk citra aparat di mata masyarakat. Karena itu, KWIP menegaskan bahwa tindakan cepat dan transparan dari kepolisian sangat diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Merangin.

Solidaritas Insan Pers: Jangan Diam terhadap Kekerasan

Ady Lubis juga menyampaikan bahwa KWIP tidak akan tinggal diam apabila kasus ini tidak segera diusut secara tuntas. Ia memastikan bahwa seluruh jurnalis yang tergabung dalam KWIP siap menggelar aksi solidaritas dan menyuarakan keadilan bagi korban. “Kami tidak akan tinggal diam. Kalau aparat tidak bertindak, kami akan turun ke jalan untuk menunjukkan bahwa kebebasan pers tidak bisa diintimidasi oleh siapa pun, apalagi oleh preman tambang,” tegasnya.

Seruan solidaritas ini juga disambut oleh sejumlah organisasi wartawan lain di Kabupaten Merangin, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Forum Pewarta Merangin (FPM). Mereka menilai, kekerasan terhadap jurnalis adalah ancaman serius terhadap hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan berimbang.

“Setiap wartawan memiliki hak untuk bekerja tanpa rasa takut. Jika wartawan diintimidasi, maka publik kehilangan mata dan telinga terhadap kebenaran. Kami mendukung penuh langkah KWIP untuk mengawal kasus ini sampai tuntas,” ujar salah satu perwakilan jurnalis senior di Merangin.

Wartawan Adalah Mitra Pemerintah, Bukan Musuh

KWIP Merangin juga mengingatkan seluruh pihak, terutama pelaku usaha dan pejabat publik, bahwa wartawan bukanlah musuh, melainkan mitra strategis pemerintah dalam menyebarluaskan informasi pembangunan serta kebijakan publik kepada masyarakat. Ady Lubis menegaskan, “Intimidasi terhadap wartawan bukan hanya melanggar hukum, tapi juga mencoreng wajah daerah dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap aparat serta pemangku kebijakan.”

Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memahami bahwa kerja jurnalistik memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya pemerintahan, serta mengungkap persoalan publik secara objektif. “Kami berharap kasus ini menjadi pelajaran berharga agar tidak ada lagi pihak yang mencoba menghalangi kerja jurnalistik dengan cara kekerasan atau ancaman,” imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, beberapa tokoh masyarakat juga menyampaikan keprihatinannya terhadap insiden tersebut. Mereka menilai bahwa tindakan premanisme terhadap jurnalis dapat menciptakan ketakutan di kalangan media, yang pada akhirnya berdampak buruk terhadap transparansi informasi di daerah.

Tanggung Jawab Negara dalam Melindungi Kebebasan Pers

Para aktivis dan pemerhati media menilai, kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen negara dalam menegakkan perlindungan terhadap insan pers. Negara harus hadir dan memastikan setiap wartawan dapat bekerja dengan aman tanpa ancaman. Pemerintah, khususnya aparat penegak hukum, diminta tidak hanya berhenti pada retorika, tetapi melakukan langkah konkret dengan menangkap dan mengadili para pelaku.

“Kami menuntut agar Kapolres Merangin segera membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. Jangan sampai kasus seperti ini hanya menjadi berita sesaat, lalu dilupakan. Wartawan bekerja membawa kebenaran, bukan untuk dimusuhi,” ujar Ady Lubis.

Selain itu, KWIP Merangin berencana mengirimkan laporan resmi kepada Dewan Pers dan Kapolda Jambi sebagai bentuk langkah hukum dan advokasi. Mereka juga akan mendorong pemerintah daerah agar memperkuat sinergi dengan organisasi pers dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi jurnalis.

Seruan Moral: Stop Intimidasi, Hentikan Premanisme

Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya persoalan antar individu, tetapi merupakan persoalan sistemik yang mencerminkan lemahnya penegakan hukum dan masih kuatnya budaya anti kritik di masyarakat. Oleh karena itu, KWIP menyerukan agar semua pihak menghentikan praktik-praktik kekerasan dan intimidasi terhadap insan pers.

“Kami menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat, baik pelaku usaha, pejabat, maupun aparat, agar menghormati profesi wartawan. Jangan jadikan jurnalis sebagai korban ketika mereka sedang menegakkan fungsi sosialnya,” kata Ady Lubis.

Ia menegaskan, wartawan memiliki kode etik dan bekerja berdasarkan fakta. “Jika ada pemberitaan yang dirasa merugikan, tempuhlah jalur klarifikasi atau hak jawab, bukan dengan kekerasan. Karena hukum telah mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pers secara bermartabat,” tambahnya.

Refleksi: Pers sebagai Pilar Demokrasi

Peristiwa yang menimpa Dodi Saputra menjadi pengingat bagi seluruh insan pers tentang pentingnya solidaritas dan keberanian dalam menjaga marwah profesi. Di tengah meningkatnya tekanan terhadap media, jurnalis di daerah tetap harus teguh menjalankan peran sebagai penjaga kebenaran dan suara rakyat.

Kebebasan pers bukanlah kebebasan tanpa batas, namun merupakan hak konstitusional yang harus dijaga bersama. Jika jurnalis dibungkam dengan kekerasan, maka yang sesungguhnya dibungkam adalah hak masyarakat untuk tahu.

KWIP Merangin menegaskan komitmennya untuk terus memperjuangkan kebebasan pers dan memberikan perlindungan bagi setiap jurnalis yang menjadi korban kekerasan di lapangan. Mereka juga mengimbau seluruh media agar terus bersatu dan saling mendukung dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap kebebasan pers.


Editor: Redaksi SumateraNewsTV. Com
Sumber: Komite Wartawan Indonesia Perjuangan (KWIP) DPC Merangin