Sudirman Jaya dan KPLP Enggan Dikonfirmasi Soal Kejahatan di Dalam Lapas Kotabumi

Lampung Utara, (Sumateranewstv. Com)– Kasus dugaan kejahatan yang terjadi dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Kotabumi kembali menjadi sorotan tajam publik. Setelah Polda Lampung berhasil mengungkap jaringan penipuan daring (love scamming) yang dikendalikan oleh sejumlah narapidana dari balik jeruji besi, perhatian kini tertuju pada pihak pengelola lapas, khususnya Kalapas Sudirman Jaya dan Kepala Pengamanan Lapas (KPLP) Beni Umayah yang hingga kini sulit dikonfirmasi mengenai kasus tersebut.

Kasus Love Scamming dari Dalam Lapas: Puncak Gunung Es Kejahatan Siber

Pengungkapan kasus love scamming oleh aparat kepolisian menjadi indikasi bahwa kejahatan yang melibatkan narapidana tidak bisa lagi dianggap sebagai fenomena kecil. Modus yang digunakan cukup canggih — memanfaatkan jaringan internet dan media sosial untuk menipu korban, kebanyakan perempuan, dengan bujuk rayu hingga korban mengalami kerugian finansial.

Menurut informasi yang beredar, tiga orang narapidana menjadi pelaku utama dalam jaringan ini. Namun, muncul dugaan kuat bahwa aktivitas tersebut tidak mungkin berjalan tanpa adanya kelengahan, bahkan mungkin keterlibatan dari oknum petugas di dalam lapas. Dugaan ini mencuat karena pola komunikasi dan peredaran ponsel di dalam lapas yang seharusnya dilarang, tampaknya masih sangat longgar.

Publik menilai lemahnya pengawasan menjadi celah besar bagi kejahatan berbasis digital di balik tembok penjara. Dalam konteks ini, tanggung jawab moral dan administratif jatuh kepada dua pucuk pimpinan lembaga, yakni Kalapas Sudirman Jaya dan KPLP Beni Umayah, yang memiliki peran sentral dalam menjaga keamanan serta ketertiban di dalam lapas.

Upaya Konfirmasi yang Tertutup

Tim media berulang kali mencoba melakukan konfirmasi kepada pihak Lapas Kotabumi, namun menemui jalan buntu. Setiap upaya wawancara dengan Sudirman Jaya maupun Beni Umayah selalu berakhir dengan alasan klasik: tidak berada di tempat atau sedang bertugas di luar.

“Kalapasnya lagi keluar, tidak ada di tempat,” ujar Dika, salah satu petugas lapas saat ditemui di pintu masuk, Senin (6/10/2025). Jawaban tersebut seolah menjadi pola yang terus berulang setiap kali awak media berusaha meminta klarifikasi.

Padahal, transparansi informasi sangat penting untuk menepis dugaan publik mengenai adanya pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum di dalam kasus yang mencoreng nama baik institusi pemasyarakatan tersebut. Keengganan pejabat lapas untuk memberikan keterangan justru menambah kecurigaan masyarakat bahwa ada hal besar yang sedang ditutupi.

Dugaan Mutasi dan Upaya “Penyelamatan” Jabatan

Dalam perkembangan terbaru, muncul kabar bahwa Beni Umayah telah dimutasi ke Lapas Lampung Selatan dengan jabatan yang sama, yaitu sebagai Kepala Pengamanan Lapas (KPLP). Sementara itu, Sudirman Jaya disebut-sebut dipindahkan ke provinsi Maluku, meski hingga kini belum ada kejelasan resmi terkait jabatan barunya.

Mutasi ini menimbulkan spekulasi di kalangan publik. Banyak yang menduga bahwa pemindahan tersebut merupakan langkah strategis untuk meredam sorotan publik ketimbang upaya perbaikan sistemik di tubuh lembaga pemasyarakatan. “Jika benar dimutasi, publik berharap mutasi bukan sekadar memindahkan masalah, tetapi menjadi momentum untuk melakukan pembenahan menyeluruh,” ujar salah satu pengamat kebijakan publik di Lampung Utara.

Mutasi pegawai di lingkungan Kemenkumham memang hal biasa, namun dalam konteks kasus ini, transparansi informasi mutasi menjadi krusial. Sebab, tanpa penjelasan resmi, mutasi justru bisa dianggap sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab dari pejabat yang bersangkutan.

Sorotan dari Organisasi Mahasiswa: HMI Siap Aksi dan Kawal Kasus Hingga Pusat

Kasus ini tidak hanya memancing reaksi publik, tetapi juga mengundang perhatian dari kalangan akademisi dan mahasiswa. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kotabumi menyatakan kekecewaan terhadap kinerja pihak lapas dan berencana menggelar aksi unjuk rasa jika tidak ada penjelasan resmi dari pihak terkait.

“Kami menilai ini bukan persoalan kecil. Jika kejahatan bisa diatur dari dalam lapas, maka ada sistem yang rusak di sana. Kami akan membawa persoalan ini hingga ke pusat jika tidak ada transparansi,” tegas Rizal Fikri, Ketua Umum HMI Cabang Kotabumi, kepada wartawan.

HMI menilai bahwa kejahatan siber yang dikendalikan dari balik penjara merupakan bentuk pengkhianatan terhadap fungsi pemasyarakatan. Menurutnya, lapas seharusnya menjadi tempat pembinaan, bukan malah menjadi sarang kejahatan baru yang menimpa masyarakat di luar.

Lebih lanjut, HMI meminta agar Kementerian Hukum dan HAM serta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan turun langsung melakukan investigasi terhadap dugaan keterlibatan oknum petugas. Mereka mendesak agar dilakukan audit menyeluruh terhadap sistem keamanan digital dan peredaran alat komunikasi di dalam lapas.

Peredaran Ponsel Diduga Masih Bebas di Dalam Lapas

Salah satu temuan paling krusial dalam kasus ini adalah dugaan bahwa ponsel masih bebas beredar di dalam lapas. Padahal, aturan tegas dari Kemenkumham telah melarang penggunaan perangkat komunikasi pribadi oleh narapidana. Namun, kenyataannya, praktik penyelundupan dan penyalahgunaan alat komunikasi masih terus terjadi.

Berdasarkan informasi dari sumber internal yang enggan disebutkan namanya, terdapat indikasi bahwa ponsel-ponsel tersebut masuk melalui jalur petugas tertentu, dengan imbalan tertentu pula. Jika dugaan ini benar, maka kejahatan love scamming bukan hanya soal narapidana yang nakal, tetapi juga soal lemahnya pengawasan dan potensi keterlibatan oknum petugas.

“Selama masih ada ponsel di dalam lapas, selama itu pula kejahatan bisa dikendalikan dari balik jeruji. Ini masalah klasik, tapi tidak pernah benar-benar selesai,” ungkap sumber tersebut.

Respons Pemerintah Diharapkan Tegas

Seiring dengan mencuatnya kasus ini, publik mendesak agar Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) bertindak tegas. Masyarakat menilai bahwa jika kementerian tidak mampu memperbaiki sistem keamanan di dalam lembaga pemasyarakatan, maka kredibilitas negara dalam penegakan hukum akan dipertanyakan.

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, sebelumnya telah memberikan instruksi tegas kepada para menteri agar tidak ragu menindak bawahannya jika ditemukan adanya kelalaian atau penyimpangan dalam pelaksanaan tugas. Dalam konteks kasus ini, banyak pihak menilai instruksi tersebut perlu segera diterapkan di lingkungan pemasyarakatan.

“Tidak bisa lagi ada kompromi terhadap kejahatan yang dilakukan dari dalam lembaga negara. Jika pejabat tidak mampu memperbaiki sistemnya, maka lebih baik diganti,” ujar salah satu aktivis hukum di Lampung yang menilai kasus ini sebagai ujian integritas bagi Kemenkumham.

Ketertutupan Informasi: Bentuk Ketidaksiapan atau Upaya Menutupi Fakta?

Menariknya, sejak kasus ini terkuak, pihak Lapas Kelas IIA Kotabumi tampak menutup diri dari publik. Wartawan yang mencoba melakukan konfirmasi langsung ke lapas mengaku mengalami kesulitan, bahkan tidak diizinkan masuk untuk meminta pernyataan resmi.

Situasi ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah sikap tertutup tersebut merupakan bentuk ketidaksiapan menghadapi media, atau justru bagian dari upaya sistematis untuk menutupi fakta di lapangan? Dalam era keterbukaan informasi publik, langkah ini justru kontraproduktif dan bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara.

Padahal, publik berhak tahu sejauh mana langkah-langkah pembenahan dilakukan oleh pihak lapas. Apalagi, kejahatan siber dari dalam penjara bukan kali ini saja terjadi. Beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus serupa juga pernah mencuat di berbagai daerah di Indonesia, menandakan bahwa persoalan ini bersifat struktural dan memerlukan solusi nasional.

Pertanyaan Publik yang Belum Terjawab

Hingga kini, sejumlah pertanyaan masih menggantung tanpa jawaban:

  • Bagaimana ponsel bisa masuk dan digunakan secara bebas oleh narapidana?
  • Apakah ada sistem pengawasan internal yang bocor atau dilemahkan?
  • Apakah mutasi pejabat lapas terkait langsung dengan kasus yang mencuat?
  • Dan yang paling penting: adakah korban lain di luar sana yang belum terungkap?

Sampai saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak Lapas Kotabumi, baik dari Sudirman Jaya maupun Beni Umayah. Sementara itu, pihak kepolisian yang menangani kasus ini juga masih terus melakukan pendalaman untuk menelusuri apakah terdapat jaringan yang lebih besar di balik praktik kejahatan ini.

Penutup: Desakan Reformasi Sistem Pemasyarakatan

Kisah di balik kasus Lapas Kotabumi ini menjadi cerminan nyata bahwa sistem pemasyarakatan di Indonesia masih jauh dari kata bersih dan efektif. Alih-alih menjadi tempat pembinaan, lapas justru sering kali menjadi ladang subur bagi kejahatan baru yang terorganisir dan sulit diberantas.

Kasus ini seharusnya menjadi momentum penting bagi Kemenkumham untuk melakukan reformasi total terhadap sistem pengawasan internal lapas, khususnya dalam pengendalian barang-barang terlarang dan sistem pengamanan digital. Tanpa langkah konkret, kasus serupa akan terus berulang dengan pola yang sama: ponsel lolos, kejahatan berulang, pejabat dipindah, dan publik dibiarkan bertanya-tanya.

Sejauh berita ini ditayangkan, Sudirman Jaya dan Beni Umayah masih belum bisa dikonfirmasi. Sementara itu, Lapas Kelas IIA Kotabumi tetap tertutup terhadap permintaan wawancara, memperkuat dugaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di balik tembok penjara tersebut.

(Tim - KWIP) 

Editor Redaksi SumateranewsTV.com