LAMPUNG — Polda Lampung resmi menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam penyidikan kasus dugaan penganiayaan terhadap mahasiswa Universitas Lampung (Unila) yang mengikuti kegiatan pendidikan dasar (Diksar) organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mahepel) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Penetapan tersangka diumumkan melalui konferensi pers di Mapolda Lampung pada Jumat, 24 Oktober 2025.
Garis besar kasus dan dasar penyidikan
Kasus ini bermula dari sebuah laporan yang didaftarkan ke Polda Lampung dan lalu berkembang menjadi penyidikan yang cukup intensif. Berdasarkan keterangan resmi, penyelidikan dilancarkan atas dasar laporan polisi nomor LP/B/384/VI/2023/SPKT Polda Lampung tertanggal 3 Juni 2025 yang dilaporkan oleh Wirna Wani. Dalam proses penyidikan, penyidik melakukan serangkaian tindakan antara lain olah tempat kejadian perkara (TKP), pemeriksaan saksi-saksi, ekshumasi jenazah korban, serta permintaan pendapat ahli forensik dan medis untuk menjelaskan kronologi peristiwa dan penyebab kematian.
Temuan-temuan awal dari proses forensik dan penyidikan memberikan gambaran yang kompleks: hasil ekshumasi yang dipresentasikan kepada publik pada 7 Oktober 2025 menyatakan bahwa penyebab signifikan kematian korban adalah akibat peningkatan tekanan intrakranial terkait adanya tumor otak (oligodendroglioma). Meskipun demikian, penyidik juga menemukan bukti adanya peristiwa kekerasan fisik selama pelaksanaan Diksar yang dialami korban dan peserta lainnya—peristiwa yang dalam penilaian penyidik memenuhi unsur tindak pidana penganiayaan.
Siapa yang ditetapkan sebagai tersangka — peran dan inisial
Dari proses pendalaman, Polda Lampung menetapkan delapan orang sebagai tersangka. Delapan tersangka tersebut berinisial: AA, AF, AS, SY, DAP, PL, RAN, dan AI. Mereka adalah gabungan antara panitia pelaksana kegiatan dan alumni yang terlibat dalam kegiatan Diksar Mahepel FEB Unila.
Menurut pengumuman resmi, modus dan peran para tersangka beragam: beberapa diduga melakukan tindakan langsung seperti menampar, menendang, dan menyeret peserta, sementara yang lain diduga menginstruksikan pelaksanaan kegiatan fisik berlebihan—seperti push-up, sit-up, dan kegiatan fisik lain—yang menimbulkan rasa sakit dan cedera pada peserta. Pengakuan saksi dan bukti pendukung membuat penyidik berkeyakinan cukup untuk menaikkan status hukum terhadap delapan orang tersebut.
Hasil forensik: tumor otak sebagai faktor signifikan
Salah satu aspek yang banyak mendapat perhatian publik adalah hasil ekshumasi jenazah korban. Tim forensik Rumah Sakit Bhayangkara Polda Lampung menyampaikan bahwa dari pemeriksaan ulang (ekshumasi) ditemukan adanya tumor otak jenis oligodendroglioma yang berperan signifikan terhadap peningkatan tekanan intrakranial hingga berkontribusi pada kematian korban. Pernyataan ini dirilis oleh tim forensik dan dipaparkan ke publik pada 7 Oktober 2025. Bagian tubuh yang terpengaruh dan bukti medis menunjukkan proses penyakit yang telah berlangsung dan memiliki kontribusi besar terhadap kondisi kesehatan korban.
Namun, tim forensik juga mencatat keterbatasan dalam memastikan semua bekas kekerasan pada jenazah karena jenazah telah memasuki kondisi pembusukan pada saat ekshumasi; beberapa tanda lebam tidak dapat dipastikan karena kondisi tersebut. Terlepas dari keterbatasan ini, bukti lain—termasuk keterangan saksi, foto, dan bukti medis lain—menunjukkan adanya tindakan kekerasan fisik selama kegiatan Diksar. Keberadaan tumor tidak otomatis menghapus tanggung jawab pidana apabila terbukti ada perbuatan penganiayaan yang dijalankan oleh pihak lain.
Pasal yang dijerat dan ancaman hukuman
Polda Lampung menyatakan bahwa para tersangka dijerat dengan ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 KUHP tentang tindak pidana penganiayaan. Pasal tersebut bagi yang terbukti bersalah mengancam pidana penjara yang dalam praktik dapat mencapai beberapa tahun—Polda Lampung menyebut secara spesifik ancaman hingga dua tahun delapan bulan penjara bagi pelaku penganiayaan seperti yang dipersangkakan ke para tersangka. Penyidik menegaskan proses hukum akan dilanjutkan secara profesional dan transparan sambil mendalami kemungkinan keterlibatan pihak lain.
Kronologi singkat peristiwa dan titik balik kasus
Berdasarkan berkas perkara dan paparan penyidik: kegiatan Diksar Mahepel FEB Unila diselenggarakan pada November 2024 di Desa Talang Mulya, Kabupaten Pesawaran. Setelah mengikuti rangkaian kegiatan tersebut, korban—Pratama Wijaya Kesuma—mengalami penurunan kondisi kesehatan dalam bulan-bulan berikutnya. Kondisi memburuk hingga akhirnya korban meninggal dunia beberapa bulan setelah kegiatan berlangsung. Kejanggalan atas peristiwa ini mendorong pihak keluarga dan pihak terkait untuk melaporkan dugaan kekerasan yang terjadi selama Diksar ke aparat penegak hukum. Laporan resmi pada 3 Juni 2025 membuka proses penyidikan lebih lanjut.
Selama penyidikan, penyidik melakukan berbagai tindakan bukti antara lain: memeriksa saksi-saksi yang hadir dalam kegiatan, mencari dan mengamankan barang bukti yang relevan, melakukan olah TKP, dan melakukan ekshumasi jenazah untuk mengklarifikasi penyebab kematian. Pendapat ahli dari bidang forensik menjadi bagian penting dari rangkaian pemeriksaan guna memastikan penyebab medis dan kemungkinan keterkaitan faktor eksternal, seperti trauma akibat penganiayaan.
Reaksi publik, keluarga, dan komunitas kampus
Kasus ini menarik perhatian publik, media, dan komunitas akademik. Di satu sisi, keluarga korban menuntut keadilan dan kejelasan, menuntut agar pihak-pihak yang bertanggung jawab diproses sesuai hukum. Di sisi lain, sebagian pihak menyoroti temuan ekshumasi yang menyatakan adanya tumor otak sehingga menyerukan agar publik tetap tenang dan mengedepankan prinsip praduga tidak bersalah bagi tersangka sampai proses peradilan membuktikan kesalahan.
Di lingkungan kampus, kasus ini menimbulkan perdebatan tentang praktik diksar dan pembinaan organisasi mahasiswa. Universitas Lampung (Unila) mendapat sorotan mengenai mekanisme pengawasan dan pembinaan kegiatan mahasiswa, termasuk praktik-praktik yang berpotensi melanggar hak asasi dan keselamatan peserta. Seruan untuk perbaikan tata kelola kegiatan kemahasiswaan dan penegakan aturan internal semakin menguat. Berbagai pihak menuntut adanya regulasi yang lebih tegas serta pengawasan yang efektif terkait kegiatan fisik dan pembinaan organisasi mahasiswa.
Pandangan hukum dan etika tentang penganiayaan dalam kegiatan diksar
Dari sisi hukum pidana, penganiayaan adalah tindakan yang melanggar ketentuan pidana apabila memenuhi unsur-unsur seperti perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, luka, atau gangguan kesehatan pada orang lain yang dilakukan dengan sengaja. Ketika tindakan itu terjadi dalam konteks kegiatan terstruktur (seperti diksar) dan melibatkan perintah ataupun pelaksanaan tindakan oleh panitia maupun alumni, hukum dapat menilai adanya pertanggungjawaban baik sebagai pelaku langsung maupun sebagai penyebab (juga pelaku melalui perintah) sesuai ketentuan Pasal 55 KUHP.
Dari sudut etika dan kebijakan kampus, praktik diksar yang melibatkan tindakan fisik berlebihan sangat riskan menimbulkan cedera hingga berdampak pada kesehatan jangka panjang. Otoritas pendidikan tinggi dan organisasi kemahasiswaan disarankan menata ulang mekanisme pembinaan organisasi: menekankan pembinaan non-kekerasan, standar keselamatan, pembatasan aktivitas fisik yang berisiko, serta mekanisme pengaduan yang mudah dijangkau peserta. Rekomendasi para ahli juga mencakup pendidikan anti-kekerasan, pelatihan pertolongan pertama, serta keterlibatan pihak kampus dalam pengawasan setiap kegiatan di luar kampus.
Langkah penyidik ke depan dan transparansi proses
Polda Lampung menegaskan komitmennya untuk terus mendalami penyidikan, memeriksa kemungkinan adanya pelaku lain, serta menghadirkan bukti dan saksi yang relevan di pengadilan. Penetapan delapan tersangka merupakan salah satu hasil pendalaman awal, namun penyidik menegaskan bahwa pintu penyidikan masih terbuka lebar bila ditemukan bukti baru. Polda juga menyatakan akan berkala menyampaikan perkembangan penyidikan kepada publik demi menjamin transparansi dan akuntabilitas proses hukum.
Analisis: mengurai kontribusi faktor medis dan faktor penganiayaan
Mengurai keterkaitan antara temuan medis (tumor otak) dengan dugaan penganiayaan membutuhkan analisis multidisipliner. Tumor otak jenis oligodendroglioma dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang berdampak fatal bila tidak tertangani secara tepat. Namun, jika dalam periode yang sama korban mengalami kekerasan fisik yang menimbulkan trauma kepala, luka, atau stres berat, faktor eksternal itu kemudian dapat memperburuk kondisi medis. Oleh sebab itu, penyidik perlu memetakan kronologi detail: kapan gejala muncul, apakah ada trauma sebelum gejala memburuk, serta bukti konkret yang menghubungkan tindakan penganiayaan dengan tambahannya beban medis.
Langkah forensik, termasuk pemeriksaan jaringan, catatan medis klinis pemeriksaan sebelumnya, hasil visum, dan pendapat spesialis neurologi menjadi sangat penting untuk memastikan seberapa besar kontribusi setiap faktor terhadap kematian korban.
Implikasi kebijakan kampus dan rekomendasi praktis
Kemunculan kasus ini mengingatkan perguruan tinggi untuk: (1) meninjau kebijakan tentang pendidikan dasar organisasi mahasiswa (diksar), (2) membatasi praktik yang berpotensi mencederai fisik dan psikis mahasiswa, (3) mewajibkan adanya surat izin, pengawasan kampus, serta prosedur keselamatan—termasuk kehadiran tenaga medis atau relawan kesehatan ketika kegiatan lapangan dijalankan, dan (4) membentuk mekanisme pengaduan cepat dan protektif bagi peserta yang mengalami perlakuan berbahaya.
Penerapan sanksi administratif internal terhadap oknum yang terbukti bersalah secara hukum dan/atau melanggar kode etik kampus juga perlu dipertimbangkan: mulai dari skorsing, pemecatan dari organisasi sampai rekomendasi pencabutan status keanggotaan bila terbukti melanggar kode perilaku kampus. Semua upaya tersebut bertujuan mencegah terulangnya kejadian serupa dan memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan.
Suara keluarga, masyarakat sipil, dan civil society
Keluarga korban hingga organisasi masyarakat sipil menuntut keterbukaan penuh dalam proses hukum. Mereka meminta agar penyidikan tidak berhenti pada penetapan sementara saja, tetapi juga mengungkap kemungkinan adanya aktor lain yang memfasilitasi atau menutup-nuti peristiwa. Seruan ini juga disertai permintaan agar pihak kampus memberikan dukungan moral dan akses informasi bagi keluarga terkait hasil penyidikan dan proses peradilan yang akan datang.
Lembaga pemerhati keselamatan mahasiswa, organisasi anti-kekerasan, serta sejumlah LSM lokal menyerukan perbaikan kebijakan kampus dan advokasi untuk peserta—termasuk pendidikan pra-keikutsertaan, izin orang tua, serta pelindungan psikologis pasca-kegiatan bagi peserta. Forum publik dan diskusi kultural tentang praktik pembinaan tanpa kekerasan pun menjadi salah satu respon sosial terhadap kasus ini.
Apa yang harus diharapkan publik selanjutnya?
- Penyidikan lanjutan: Pengusutan lebih jauh terhadap peran tersangka dan kemungkinan keterlibatan pihak lain.
- Proses penuntutan: Bila penyidik merampungkan berkas, kejaksaan akan menilai dan memutuskan tahap penuntutan ke pengadilan.
- Ruang transparansi: Polda Lampung berjanji mempublikasikan perkembangan penyidikan demi akuntabilitas.
- Kebijakan kampus: Upaya revisi prosedur diksar dan penguatan mekanisme perlindungan mahasiswa.
- Dukungan korban/keluarga: Akses bantuan psikologis, medis, dan advokasi hukum jika diperlukan.
Kesimpulan
Penyidikan Polda Lampung yang berujung pada penetapan delapan tersangka menunjukkan adanya kombinasi faktor medis dan bukti penganiayaan fisik yang perlu dituntaskan di pengadilan. Hasil ekshumasi yang menemukan tumor otak sebagai kontribusi signifikan terhadap kematian korban tidak serta-merta menggugurkan dugaan penganiayaan; sebaliknya, hal itu menuntut analisis hukum-forensik yang rinci untuk menentukan pertanggungjawaban pidana yang tepat. Publik menaruh perhatian besar pada kasus ini — bukan hanya untuk kepentingan keadilan bagi korban dan keluarga, tetapi juga sebagai momentum memperbaiki praktik pembinaan organisasi mahasiswa agar lebih aman, humanis, dan terawasi.
Keterangan resmi dan sumber utama pemberitaan ini: konferensi pers Polda Lampung (Press Release Nomor 750/X/HUM.6.1.1./2025) serta paparan hasil ekshumasi dan pernyataan Dirkrimum Polda Lampung Kombes Pol Indra Hermawan. Untuk informasi terperinci, Polda Lampung mempublikasikan rilis resmi yang dapat dirujuk publik.
