KWIP Desak Mabes Polri Tindak Tegas Debt Collector Perampas Mobil Warga di Mapolda Lampung

Lampung,(Sumateranewstv. Com) — Komite Wartawan Indonesia Perjuangan (KWIP) mendesak Mabes Polri agar segera memerintahkan Polda Lampung menindak tegas kelompok debt collector yang melakukan perampasan kendaraan warga secara paksa di lingkungan Mapolda Lampung. Peristiwa memalukan ini terjadi pada Rabu, 1 Oktober 2025.

Peristiwa di Depan Kantor Polisi yang Seharusnya Menjamin Perlindungan

Kejadian yang kini menyita perhatian publik di Lampung itu bermula ketika pemilik mobil, Ivin Aidyan Firnandez, datang ke Mapolda Lampung untuk mencari perlindungan hukum. Alih-alih mendapat perlindungan, menurut laporan awal dan pernyataan KWIP, kelompok debt collector justru menguasai kendaraannya di lingkungan kantor kepolisian.

Aktivitas penarikan paksa seperti ini menghadirkan dilema serius: tindakan aparat swasta mengambil alih fungsi penegakan hukum, sementara warga yang berupaya mendapatkan kepastian hukum justru menjadi korban. Lokasi kejadian — di sekitar Mapolda Lampung — menambah bobot keprihatinan publik karena seharusnya lingkungan tersebut merupakan wilayah yang paling aman dari praktik semacam itu.

Reaksi dan Desakan KWIP

Menanggapi peristiwa tersebut, Komite Wartawan Indonesia Perjuangan (KWIP) menyampaikan desakan keras agar Mabes Polri turun tangan dan memerintahkan Polda Lampung melakukan tindakan tegas terhadap pelaku. Ketua Bidang Hukum DPP KWIP, Dina Marlina, menyatakan bahwa dasar hukum untuk melarang penarikan kendaraan secara sepihak sudah sangat jelas.

“Dasar hukum sudah sangat jelas. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa penarikan kendaraan konsumen tidak boleh dilakukan secara sepihak. Selain itu, Surat Edaran Kapolri juga melarang aksi penarikan paksa dan memerintahkan aparat untuk menangkap para debt collector yang melakukannya,” tegas Dina Marlina.

KWIP meminta agar tindakan penegakan hukum tidak berhenti pada penyelidikan administratif semata, melainkan dilanjutkan dengan penindakan tegas sesuai ketentuan hukum pidana jika ditemukan unsur kekerasan, penganiayaan, penganiayaan ringan atau perbuatan lain yang melawan hukum.

Konteks Hukum: Landasan Larangan Penarikan Paksa

Dalam menanggapi fenomena debt collector yang kerap melakukan penarikan paksa, terdapat sejumlah landasan hukum dan aturan administrasi yang menjadi rujukan. KWIP merujuk tiga rujukan penting yang menegaskan pelarangan praktik penarikan kendaraan secara sepihak:

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 — menegaskan bahwa penarikan objek fidusia tidak boleh dilakukan sepihak oleh pihak pembiayaan; penarikan hanya sah bila didasarkan pada kesepakatan atau perintah pengadilan.
  2. Surat Edaran Kapolri Nomor S.T./2142/VIII/RES.1.24./2024 — menginstruksikan pelarangan penarikan paksa kendaraan di jalan dan memerintahkan aparat kepolisian untuk menindak tegas debt collector yang melanggar ketentuan tersebut.
  3. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.130/PMK.010/2012 — memberikan pembatasan regulatif terhadap praktik penarikan kendaraan oleh perusahaan pembiayaan sehingga tidak boleh dilakukan secara sepihak tanpa mekanisme hukum yang benar.

Ketiga payung hukum tersebut menjadi rujukan kuat bahwa penarikan paksa bukan hanya melanggar norma etika bisnis, tetapi juga berpotensi melanggar hukum pidana apabila disertai kekerasan, ancaman, atau perampasan paksa.

Kronologi Singkat: Korban, Lokasi, dan Dampak

Berdasar laporan awal yang beredar dan pernyataan KWIP, berikut garis besar kronologi singkat peristiwa:

  • Pada Rabu, 1 Oktober 2025, Ivin Aidyan Firnandez mendatangi Mapolda Lampung untuk mencari perlindungan hukum terkait perselisihan pembiayaan kendaraan.
  • Di lingkungan Mapolda Lampung, menurut versi korban dan saksi yang disampaikan KWIP, sekelompok yang mengaku sebagai debt collector melakukan penguasaan kendaraan secara paksa.
  • Peristiwa tersebut memicu desakan masyarakat dan organisasi profesi seperti KWIP agar kepolisian bertindak cepat dan menegakkan aturan yang melarang praktik penarikan paksa.

Dampak langsung pada korban tidak hanya kehilangan fisik atas kendaraannya, tetapi juga tekanan psikologis, kerusakan reputasi, dan potensi ancaman keselamatan pribadi. Selain itu, peristiwa ini menimbulkan keresahan publik karena dilakukan di lingkungan yang semestinya menjadi simbol perlindungan publik.

Perbandingan Kasus: Pola Perampasan di Tempat Lain

Kasus serupa pernah terjadi sebelumnya di wilayah lain, misalnya di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatra Utara, yang melibatkan seorang wartawan sebagai korbannya. Dalam peristiwa itu, selain kendaraannya diambil paksa, korban juga mendapat tindakan penganiayaan dari para debt collector.

Kemiripan pola — penarikan kendaraan yang disertai tindakan keras, intimidasi, atau penganiayaan — menunjukkan bahwa praktik ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan potensi tindak pidana. Pola berulang semacam ini menuntut tindakan pencegahan lebih kuat, penegakan hukum yang konsisten, serta reformasi mekanisme penagihan oleh perusahaan pembiayaan yang selama ini memberi ruang bagi praktik ektrakurial.

Apa Itu Debt Collector dan Batasan Legalnya

Debt collector adalah pihak yang ditunjuk oleh lembaga pembiayaan atau kreditur untuk melakukan kegiatan penagihan piutang. Dalam praktik yang benar, aktivitas penagihan harus dilakukan berdasarkan kontrak, aturan perundang-undangan, dan tanpa melanggar hak asasi manusia. Namun, aktivitas aktual di lapangan kadang berkembang menjadi praktik agresif yang melanggar hukum.

Batasan legal terhadap aktivitas debt collector umumnya meliputi:

  • Kegiatan penagihan harus dilakukan sesuai perjanjian dan undang-undang;
  • Penarikan objek jaminan (mis. kendaraan dengan akad fidusia) harus mengikuti mekanisme hukum; tidak boleh secara sepihak mengambil di jalan atau dengan ancaman fisik;
  • Pihak ketiga (debt collector) tidak boleh melakukan tindakan kekerasan, ancaman, penganiayaan, atau perampasan paksa yang melanggar KUHP dan regulasi lain;
  • Jika perlu mengambil alih objek jaminan, proses harus melalui putusan pengadilan atau mekanisme penyelesaian yang disepakati para pihak.

Ketika batasan ini dilanggar, tindakan debt collector dapat beralih status menjadi perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dan/atau tindak pidana (mis. penganiayaan, perampasan, atau pengancaman).

Tuntutan KWIP: Langkah Penegakan yang Diharapkan

KWIP mengajukan beberapa tuntutan konkret kepada Mabes Polri dan Polda Lampung agar kasus ini ditangani secara tuntas, antara lain:

  1. Segera memerintahkan penyelidikan dan penindakan terhadap kelompok debt collector yang melakukan perampasan di lingkungan Mapolda Lampung;
  2. Memberikan perlindungan hukum kepada korban dan saksi yang melapor;
  3. Menegakkan SE Kapolri dan memastikan aparat menindak debt collector yang beroperasi di luar koridor hukum;
  4. Bekerja sama dengan instansi terkait untuk menertibkan praktik penarikan paksa di seluruh wilayah hukum;
  5. Mengedukasi publik terkait hak-hak konsumen dan prosedur penanganan sengketa pembiayaan kendaraan;
  6. Mengembangkan mekanisme pelaporan cepat bagi korban praktik penarikan paksa dan memastikan respons aparat efisien.

Desakan ini menekankan bahwa penegakan hukum harus tampil jelas: tidak ada zona bebas hukum, termasuk di lingkungan kantor polisi. Jika pelaku berasal dari pihak swasta, aparat tetap berkewajiban menegakkan aturan dan memproses pidana jika unsur-unsur tindak pidana terpenuhi.

Langkah Preventif yang Dapat Dilakukan Pemerintah dan Otoritas

Selain penindakan kasus per kasus, pencegahan jangka menengah dan panjang penting dilakukan untuk menutup celah yang selama ini dimanfaatkan oleh pelaku penarikan paksa. Beberapa langkah preventif yang layak dipertimbangkan antara lain:

  • Penguatan regulasi dan sanksi bagi perusahaan pembiayaan atau pihak ketiga yang membiarkan praktik penarikan paksa;
  • Peningkatan pengawasan OJK dan instansi terkait terhadap praktik penagihan perusahaan pembiayaan;
  • Sosialisasi hak konsumen menyangkut pembiayaan kendaraan, termasuk prosedur klaim dan cara merespons ancaman penarikan;
  • Pembuatan mekanisme mediasi cepat antara debitur dan kreditur untuk mencegah eskalasi yang berujung pada tindakan paksa;
  • Penerapan sistem registrasi debt collector yang hanya mengizinkan agen terdaftar beroperasi dengan kode etik dan kewenangan terbatas;
  • Kolaborasi aparat kepolisian dengan asosiasi pembiayaan untuk menetapkan SOP penagihan yang menghormati HAM.

Langkah preventif tersebut akan memperkecil peluang praktik penarikan paksa sekaligus memberi kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat.

Peran Media dan Organisasi Profesi

Kasus perampasan kendaraan dan agresi debt collector sering kali menjadi perhatian media dan organisasi profesi seperti KWIP. Peran media dalam mengungkap fakta lapangan dan memberi ruang bagi korban untuk bersuara sangat penting dalam membentuk opini publik dan memicu respons aparat penegak hukum.

Organisasi profesi dapat berperan sebagai pengawal proses hukum: mendorong transparansi penyidikan, mengawal perlindungan saksi dan korban, serta memastikan bahwa rekomendasi kebijakan pencegahan mendapat perhatian pembuat kebijakan. Desakan KWIP mencerminkan fungsi pengawasan sosial semacam itulah.

Analisis Potensi Tindak Pidana

Secara hukum pidana, tindakan perampasan kendaraan oleh pihak swasta dapat dikualifikasikan bila memenuhi unsur-unsur tertentu sebagai tindak pidana, antara lain:

  • Perampasan/Pencurian — jika dilakukan secara paksa tanpa unsur kepemilikan sah;
  • Penganiayaan/Percoercion — jika disertai kekerasan atau ancaman fisik;
  • Perampasan barang di muka umum — dapat dikategorizasi sebagai tindakan melawan hukum yang meresahkan;
  • Pengancaman dan Intimidasi — jika pelaku mengancam keselamatan korban atau keluarganya.

Jika bukti-bukti terpenuhi — misalnya keterangan saksi, rekaman CCTV, atau bukti forensik lain — aparat kepolisian mempunyai landasan kuat untuk menjerat pelaku dengan pasal-pasal KUHP terkait penganiayaan, perampasan, atau ancaman.

Permintaan Transparansi Proses Penanganan Kasus

KWIP menekankan pentingnya transparansi dalam proses penanganan kasus ini oleh Polda Lampung. Transparansi diperlukan untuk memastikan proses hukum berjalan adil serta memberi jaminan kepada publik bahwa aparat bertindak tanpa pandang bulu. Langkah-langkah yang diminta antara lain:

  • Publikasi perkembangan penyelidikan secara periodik;
  • Perlindungan saksi dan korban selama proses penyidikan;
  • Penindakan tegas terhadap pelaku yang melanggar hukum; dan
  • Pemulihan hak korban bila terbukti terjadi perbuatan melawan hukum.

Dengan keterbukaan, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dapat terjaga dan potensi kegaduhan sosial dapat diminimalkan.

Penutup: Momentum Perbaikan Sistem

Kasus perampasan kendaraan di lingkungan Mapolda Lampung yang disorot KWIP bukan hanya insiden tunggal, melainkan cermin masalah tata kelola penagihan kredit dan lemahnya kontrol terhadap praktik agen penagihan. Tindakan segera dan terukur dari Mabes Polri dan Polda Lampung sangat diperlukan untuk menegaskan bahwa tatanan hukum tetap tegak dan tidak ada ruang untuk praktek kekerasan atau perampasan oleh pihak swasta.

Lebih dari itu, kasus ini harus dijadikan momentum bagi pembuat kebijakan, otoritas keuangan, perusahaan pembiayaan, dan aparat penegak hukum untuk memperbaiki regulasi, mekanisme penagihan, mekanisme mediasi, dan sistem pengawasan sehingga hak-hak konsumen terlindungi dan praktik ilegal tidak lagi berulang.

KWIP menunggu langkah konkret Mabes Polri dan Polda Lampung, mulai dari penyelidikan yang transparan, penindakan tegas terhadap pelaku, hingga jaminan pemulihan hak bagi korban. Publik juga mengharapkan adanya kebijakan jangka panjang yang mengatur seluruh praktik penagihan dengan ketat — demi keadilan, ketertiban, dan perlindungan warga negara.

Disusun untuk Sumateranewstv berdasarkan laporan awal dan pernyataan Komite Wartawan Indonesia Perjuangan (KWIP).

Sumber: Pernyataan KWIP dan laporan lapangan.