Dugaan Pemerkosaan dan Penipuan Anak di Bawah Umur, Keluarga Korban Lapor Oknum Operator MAN 1 Kotabumi ke Polres Lampung Utara

Lampung Utara, (Sumateranewstv. Com) – Kasus dugaan tindak pidana yang melibatkan anak di bawah umur kembali mencoreng dunia pendidikan di Lampung Utara. Seorang siswi berinisial NA (15), warga Kotabumi, didampingi keluarganya resmi melaporkan SDC, yang diduga merupakan oknum operator di MAN 1 Kotabumi, ke Polres Lampung Utara pada Kamis (23/10/2025).

Laporan tersebut teregister dengan nomor LP/B/580/X/2025/SPKT/Polres Lampung Utara/Polda Lampung. Dalam laporan itu, SDC dilaporkan atas dugaan melakukan pemerkosaan serta penipuan terhadap anak di bawah umur. Kasus ini sontak menjadi sorotan publik, terutama karena pelaku disebut-sebut merupakan tenaga pendidik yang seharusnya menjadi teladan dan pelindung bagi para siswa.

Kronologi Kejadian Menurut Keluarga Korban

Menurut penuturan pihak keluarga korban kepada awak media, kasus ini bermula ketika SDC yang bekerja sebagai operator sekolah menjalin komunikasi dengan korban melalui pesan singkat dan media sosial. Komunikasi tersebut awalnya dianggap biasa saja, karena posisi SDC yang dikenal dekat dengan para siswa dan sering membantu urusan administrasi sekolah.

Namun, hubungan itu diduga mulai melampaui batas ketika SDC mulai memberikan perhatian berlebih kepada NA. Ia disebut kerap memberikan janji-janji manis kepada korban, termasuk menjanjikan bantuan administrasi sekolah dan bahkan menyatakan akan bertanggung jawab secara pribadi terhadap masa depan korban.

Keluarga korban yang awalnya tidak mencurigai adanya niat buruk, justru terkejut setelah mengetahui bahwa NA kerap pulang larut dan menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan. Hingga akhirnya, korban mengaku telah menjadi korban perbuatan asusila oleh SDC. Tidak hanya itu, korban juga merasa telah ditipu secara emosional dan finansial oleh pelaku yang menjanjikan sesuatu namun tidak ditepati.

Laporan Resmi ke Polisi dan Tuntutan Keadilan

Keluarga korban akhirnya mengambil langkah hukum dengan mendatangi Polres Lampung Utara untuk melaporkan perbuatan SDC. Dalam laporannya, keluarga meminta agar pelaku segera ditangkap dan diproses secara hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Ayah korban, berinisial BI, menyampaikan dengan nada tegas bahwa keluarganya sudah cukup bersabar dan berharap keadilan dapat ditegakkan tanpa pandang bulu.

“Kami minta pelaku segera ditangkap dan diproses sesuai hukum yang berlaku. SDC sudah menghancurkan masa depan adik saya. Sekarang dia tidak mau sekolah lagi, malu keluar rumah, dan trauma berat. Kami sudah cukup menahan sabar,” ungkap BI dengan nada kecewa kepada awak media.

Menurut BI, pihak keluarga sebelumnya berusaha menyelesaikan secara kekeluargaan, namun tidak menemukan titik terang. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menempuh jalur hukum sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan bagi korban.

Langkah Hukum dan Ketentuan Undang-Undang

Dalam kasus ini, SDC diduga kuat melanggar Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terutama Pasal 81 dan 82, yang mengatur hukuman bagi pelaku kekerasan atau eksploitasi seksual terhadap anak di bawah umur.

Berdasarkan pasal tersebut, pelaku pemerkosaan terhadap anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama seumur hidup. Selain itu, pelaku juga dapat dikenakan denda hingga miliaran rupiah sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum.

Selain hukuman penjara, pengadilan juga dapat menjatuhkan hukuman tambahan seperti rehabilitasi, pembatasan kegiatan, serta kewajiban membayar kompensasi kepada korban sebagai bentuk pemulihan.

Hak Korban Anak di Bawah Umur

Dalam setiap kasus yang melibatkan anak di bawah umur, hukum Indonesia menempatkan posisi korban sebagai pihak yang harus mendapatkan perlindungan maksimal. Dalam hal ini, NA memiliki sejumlah hak yang dijamin oleh negara, di antaranya:

  • Hak atas Perlindungan: NA berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik, seksual, dan psikologis, baik selama proses penyidikan maupun setelahnya.
  • Hak atas Keadilan: Korban berhak atas keadilan dan pemulihan dari trauma, termasuk melalui pendampingan psikologis dan bantuan hukum gratis.
  • Hak atas Kerahasiaan Identitas: Identitas korban wajib dirahasiakan oleh media maupun aparat penegak hukum, untuk menjaga privasi dan mencegah stigmatisasi sosial.
  • Hak atas Pendidikan: Negara wajib memastikan bahwa korban tetap memiliki akses untuk melanjutkan pendidikan meskipun sedang dalam kondisi trauma atau proses hukum.

Pemerhati anak dan perlindungan perempuan di Lampung Utara, Dra. Siti Rahayu, menyatakan keprihatinannya atas kasus tersebut. Ia mendesak agar semua pihak, termasuk instansi pendidikan, turut bertanggung jawab terhadap pemulihan psikologis korban.

“Anak-anak harus dilindungi, bukan dimanfaatkan. Lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat aman bagi tumbuh kembang anak. Kami minta pihak sekolah dan Kemenag turun tangan menelusuri kasus ini,” tegas Siti Rahayu.

Peran dan Kewajiban Aparat Penegak Hukum

Pihak kepolisian, dalam hal ini Polres Lampung Utara, memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti laporan dengan melakukan penyelidikan menyeluruh. Berdasarkan aturan hukum, penyidik harus mengumpulkan bukti-bukti, memeriksa saksi, dan memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan selama proses hukum berjalan.

Kapolres Lampung Utara melalui Kasat Reskrim dikabarkan telah memerintahkan Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) untuk menangani kasus ini secara profesional dan transparan. Proses hukum akan dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip due process of law dan perlindungan terhadap korban anak.

Jika hasil penyelidikan menguatkan adanya unsur pidana, maka SDC dapat segera ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan untuk mencegah pelaku melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.

Reaksi Publik dan Dunia Pendidikan

Kasus ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat, khususnya di kalangan orang tua dan tenaga pendidik. Banyak pihak mengecam tindakan tidak terpuji tersebut dan meminta agar oknum pelaku diberi sanksi tegas, termasuk pemberhentian dari instansi pendidikan tempatnya bekerja jika terbukti bersalah.

Beberapa organisasi masyarakat di Lampung Utara juga mulai menyuarakan keprihatinan mereka. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Peduli Anak Bangsa (GPAB) menilai bahwa kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan di Lampung.

“Kita tidak boleh menutup mata. Kasus ini bukan hanya persoalan hukum, tapi juga moral dan tanggung jawab sosial. Pemerintah daerah dan Kementerian Agama harus segera mengevaluasi sistem pengawasan di sekolah-sekolah agar hal seperti ini tidak terulang,” ujar Ketua GPAB, Hendra Saputra.

Selain itu, sejumlah guru di lingkungan MAN 1 Kotabumi mengaku terkejut dan menyayangkan tindakan rekan sejawat mereka. Mereka berharap agar proses hukum berjalan adil, dan sekolah tetap menjaga reputasi serta kepercayaan masyarakat.


Trauma dan Dampak Psikologis bagi Korban

Akibat kejadian tersebut, korban NA mengalami trauma berat dan memutuskan berhenti sekolah sementara waktu. Menurut keluarganya, korban kini lebih banyak berdiam diri di rumah, enggan berinteraksi dengan teman sebaya, dan menunjukkan tanda-tanda depresi ringan.

Psikolog anak, Dr. Rini Astuti, M.Psi, menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual pada usia remaja sangat rentan mengalami gangguan psikologis jangka panjang seperti ketakutan, rasa bersalah, dan kehilangan kepercayaan diri.

“Pendampingan psikologis harus segera dilakukan. Korban harus mendapatkan terapi trauma agar bisa kembali menjalani kehidupan normal dan melanjutkan pendidikan. Dukungan keluarga dan lingkungan sekitar sangat penting dalam proses pemulihan,” jelasnya.

Tuntutan Masyarakat terhadap Penegakan Hukum

Kasus ini telah menjadi perbincangan luas di media sosial. Tagar seperti #KeadilanUntukNA dan #StopKekerasanTerhadapAnak mulai bermunculan sebagai bentuk solidaritas dan tekanan publik terhadap aparat penegak hukum agar bertindak cepat dan tegas.

Banyak warganet menilai bahwa kasus-kasus serupa kerap kali tidak mendapat perhatian serius, sehingga menimbulkan rasa tidak percaya masyarakat terhadap institusi pendidikan dan aparat penegak hukum. Namun demikian, dalam kasus ini, masyarakat Lampung Utara berharap proses hukum berjalan transparan tanpa intervensi pihak manapun.

Penutup: Harapan Keadilan dan Pemulihan

Keluarga korban berharap agar proses hukum dapat segera menemukan titik terang dan memberikan keadilan bagi NA. Mereka juga meminta agar pemerintah daerah melalui dinas terkait dapat memberikan bantuan psikologis dan pendidikan alternatif bagi korban agar masa depannya tidak hancur akibat perbuatan oknum tidak bertanggung jawab.

Kejadian ini menjadi pengingat penting bagi seluruh masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan pendidikan sebagai tempat yang aman dan bersih dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan pelecehan. Selain itu, pengawasan internal lembaga pendidikan, terutama madrasah dan sekolah negeri, perlu diperketat agar kasus serupa tidak kembali terulang.

Sumateranewstv akan terus memantau perkembangan kasus ini dan berkomitmen untuk memberikan informasi terkini secara berimbang dan faktual demi terciptanya keadilan bagi korban dan keluarga.

(Redaksi Sumateranewstv / 2025)