Lampung Utara, (Sumateranewstv. Com)— Gelombang protes masyarakat Lampung Utara terhadap maraknya angkutan batubara berkapasitas berlebih (overload) kembali mencuat. Ratusan truk batubara dari Sumatera Selatan setiap hari melintas di Jalan Lintas Sumatera, menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur jalan, kemacetan panjang, bahkan kecelakaan lalu lintas yang merenggut korban jiwa. Kondisi ini menimbulkan keresahan publik dan memicu aksi massa yang menamakan diri Gerakan Masyarakat Lampung Utara dari 24 Desa (GERMAS).
Aksi yang dipimpin oleh Ketua PIRHANSYAH dan Bendahara BERTY tersebut dilakukan di sepanjang Jalan Lintas Sumatera, tepatnya di depan Ruko VIJAI, Desa Bumiraya, Kabupaten Lampung Utara. Awalnya aksi disebut sebagai bentuk kepedulian terhadap kondisi jalan yang rusak akibat lalu lintas truk batubara, namun di lapangan justru berkembang isu adanya praktik pungutan liar (pungli) berkedok pos cek poin terhadap armada batubara.
Kronologi Aksi dan Latar Belakang Masyarakat
Menurut pantauan tim SumateranewsTV, aksi tersebut bermula dari keresahan masyarakat desa-desa di Lampung Utara yang merasa dirugikan akibat aktivitas truk bermuatan batu bara yang melintasi jalan umum tanpa pengawasan ketat. Truk-truk itu disebut melebihi tonase maksimal yang diizinkan, sehingga menyebabkan badan jalan cepat rusak dan sering kali menimbulkan kecelakaan fatal. Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir, dilaporkan sudah ada korban jiwa akibat kecelakaan yang melibatkan kendaraan tambang ini.
Salah satu warga yang ikut dalam aksi, namun enggan disebut namanya, mengungkapkan bahwa dirinya awalnya bergabung karena dorongan moral untuk menolak armada batubara yang merusak jalan. Namun, setelah beberapa hari terlibat dalam aksi, ia mengaku kaget dengan adanya kegiatan pendataan dan pemungutan uang terhadap truk yang melintas.
Dugaan Praktik Pungli di Lapangan
Dari hasil investigasi, modus pungli yang dilakukan diduga dengan sistem “cek poin”. Setiap truk yang melintas dihentikan, kemudian didata oleh petugas lapangan. Data tersebut dikirimkan ke pos induk di Kabupaten Way Kanan untuk kemudian dilakukan “pencairan dana satu pintu”. Informasi yang beredar menyebutkan, setiap truk batubara dikenai tarif sebesar Rp 400.000 per unit. Uang tersebut diklaim sebagai kompensasi atau “biaya kontribusi” bagi masyarakat lokal, namun tanpa dasar hukum yang jelas.
Sejumlah sopir truk yang ditemui di lokasi mengaku bingung dengan pungutan tersebut. Mereka mengatakan tidak memiliki pilihan lain karena takut akan terjadi penahanan kendaraan bila menolak membayar. “Kami ini cuma sopir, hanya menjalankan perintah perusahaan. Tapi kalau disuruh bayar, ya mau tidak mau bayar juga, daripada ribut di jalan,” ujar salah satu sopir asal Muara Enim.
Respons Aparat dan Pemerintah Daerah
Menanggapi situasi ini, pihak kepolisian bersama TNI dan pemerintah daerah mulai melakukan pengawasan di sekitar lokasi aksi. Kapolres Lampung Utara disebut telah menurunkan tim untuk memverifikasi laporan adanya pungli di pos cek poin dan memastikan bahwa kegiatan masyarakat tidak keluar dari koridor hukum yang berlaku.
Sejumlah pejabat Pemkab Lampung Utara juga menyatakan keprihatinan atas maraknya aktivitas truk overload yang menyebabkan kerusakan infrastruktur jalan provinsi. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa penegakan aturan tidak boleh dilakukan secara sepihak atau dengan cara-cara yang justru melanggar hukum.
Surat Edaran dan SKB Tentang Tata Pengangkutan Batubara
Padahal, peraturan mengenai pengangkutan batubara di Provinsi Lampung sejatinya sudah sangat jelas. Berdasarkan Surat Edaran Gubernur Lampung Era Arinal Djunaidi Nomor 045-2/02.08/V.13/2022 tentang Tata Cara Pengangkutan Barang dan Batu Bara di Provinsi Lampung, seluruh kendaraan pengangkut batubara dilarang melintasi jalan umum, terutama jalan nasional dan provinsi yang tidak dirancang untuk beban tonase tinggi.
Selain surat edaran tersebut, Pemerintah Kabupaten Lampung Utara juga menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Forkopimda pada 30 Januari 2023 dengan nomor:
- 1/SKB/B/02-LU/2023,
- 170/033/12-LU/2023,
- MoU/3/1/2023,
- B/314/L.8.13/Cu.3/01/2023,
- B/43/1/2023,
- B/17/1/2023.
Sayangnya, meskipun berbagai aturan telah dibuat dan disepakati oleh Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA), implementasinya di lapangan dinilai masih lemah. Truk-truk batubara tetap bebas melintas, sementara aparat pengawas seakan kekurangan daya untuk melakukan penertiban. Akibatnya, masyarakat menjadi frustrasi dan mengambil langkah sendiri untuk mengontrol lalu lintas tersebut.
Kerusakan Infrastruktur dan Dampak Sosial Ekonomi
Kerusakan jalan di wilayah Lampung Utara kini telah mencapai titik mengkhawatirkan. Beberapa ruas jalan di Desa Bumi Raya, Abung Selatan, hingga ke arah Bukit Kemuning mengalami retak parah, lubang besar, dan permukaan bergelombang. Akibatnya, kendaraan pribadi, angkutan umum, serta logistik lain mengalami keterlambatan dan peningkatan biaya perawatan kendaraan. Kerugian ekonomi akibat kondisi ini diperkirakan mencapai miliaran rupiah setiap bulan.
Sementara dari sisi sosial, keresahan masyarakat semakin meningkat. Banyak warga mengaku takut melewati jalan lintas utama karena sering terjadi kecelakaan fatal yang melibatkan kendaraan besar. Salah satu warga mengatakan bahwa sejak awal tahun 2025 sudah lebih dari lima kasus kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia di jalur tersebut, sebagian besar melibatkan truk batubara yang mengalami rem blong atau hilang kendali.
Kritik terhadap Penegakan Hukum
Para aktivis lingkungan dan pemerhati transportasi menilai lemahnya pengawasan terhadap kendaraan overload merupakan masalah klasik yang belum terselesaikan. Menurut mereka, setiap tahun pemerintah mengeluarkan aturan baru, namun implementasinya kerap terbentur kepentingan ekonomi dan lemahnya koordinasi antarinstansi.
Beberapa tokoh masyarakat bahkan menyebut bahwa lemahnya tindakan tegas terhadap pelanggaran tonase menunjukkan adanya potensi kompromi atau pembiaran. “Kalau aparat benar-benar tegas, tidak mungkin truk bermuatan batu bara sebanyak itu bisa lewat jalan umum setiap hari tanpa pengawasan,” ujar salah satu tokoh masyarakat Desa Bumi Raya.
Suara dari Lapangan: Sopir dan Warga
Selain dampak sosial, para sopir truk juga berada di posisi sulit. Di satu sisi, mereka hanya pekerja yang menjalankan perintah perusahaan untuk mengirim batu bara ke pelabuhan atau industri di wilayah Lampung dan Banten. Namun di sisi lain, mereka menjadi sasaran kemarahan masyarakat karena dianggap penyebab kerusakan jalan dan polusi udara.
Sementara itu, sejumlah warga menyatakan bahwa mereka mendukung aksi protes asal dilakukan dengan tertib dan tanpa pungli. “Kalau tujuannya benar untuk menolak armada yang merusak jalan, kami setuju. Tapi kalau ujung-ujungnya ada pungutan, ya itu sama saja memanfaatkan situasi,” ujar warga lainnya.
Tuntutan Masyarakat dan Harapan ke Depan
Masyarakat Lampung Utara melalui GERMAS menuntut agar pemerintah pusat dan daerah segera menindak tegas perusahaan batubara yang tetap melintaskan armadanya di jalan umum. Mereka juga meminta adanya pengawasan ketat terhadap kendaraan overload, termasuk dengan pemasangan jembatan timbang yang berfungsi aktif di setiap perbatasan provinsi dan kabupaten.
Selain itu, masyarakat mendesak agar aparat penegak hukum menindak praktik pungli yang mencederai semangat aksi sosial. Menurut mereka, gerakan rakyat harus murni berasal dari niat memperbaiki keadaan, bukan menjadi ladang keuntungan bagi kelompok tertentu.
Pemprov Lampung Diminta Tegas
Sejumlah pihak mendesak Pemerintah Provinsi Lampung untuk bersikap tegas dalam menegakkan Surat Edaran Gubernur yang telah diterbitkan sejak 2022. Kebijakan yang sudah disepakati bersama Forkopimda dan DPRD jangan hanya menjadi dokumen administratif tanpa tindak lanjut nyata di lapangan.
Jika terus dibiarkan, dampaknya tidak hanya merugikan infrastruktur daerah tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi penegakan hukum di sektor transportasi. Ketegasan pemerintah menjadi kunci agar masyarakat kembali percaya bahwa aturan negara berlaku bagi semua pihak, tanpa pandang bulu.
Penutup: Jalan Panjang Menata Ketertiban Transportasi Tambang
Kasus truk batubara overload di Lampung Utara menggambarkan ironi antara kepentingan ekonomi dan keselamatan publik. Satu sisi, kebutuhan industri energi menuntut distribusi batubara yang efisien, namun di sisi lain, penggunaan jalan umum sebagai jalur utama distribusi tanpa pembatasan menimbulkan kerusakan besar dan keresahan sosial.
Peristiwa ini menjadi peringatan bagi seluruh pemangku kepentingan: pemerintah, aparat penegak hukum, dan pelaku industri tambang untuk duduk bersama mencari solusi berkelanjutan. Penegakan aturan harus disertai pembangunan infrastruktur alternatif, seperti jalan khusus tambang atau jalur logistik yang tidak mengganggu aktivitas warga.
Seperti disampaikan oleh salah satu akademisi dari Universitas Lampung, “Keadilan sosial tidak hanya berbicara soal hukum, tapi juga tanggung jawab bersama menjaga fasilitas publik. Jalan raya adalah hak semua warga, bukan milik satu sektor ekonomi.”
Pada akhirnya, aksi massa GERMAS dan polemik dugaan pungli ini menjadi cermin nyata kompleksitas tata kelola transportasi batubara di daerah. Pemerintah diharapkan tidak menutup mata dan segera bertindak nyata, agar Lampung Utara tidak terus menjadi korban ketidakadilan struktural akibat kepentingan tambang yang tak terkendali. (Tim)