Jakarta, (Sumateranewstv. Com) – Sejak awal masa kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo tidak pernah lepas dari berbagai tuduhan dan fitnah. Salah satu tuduhan yang paling menyakitkan sekaligus tidak masuk akal adalah tuduhan bahwa dirinya merupakan bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Fitnah ini begitu gencar disebarkan, terutama melalui media sosial, meskipun sudah berkali-kali terbantahkan oleh fakta sejarah.
Joko Widodo lahir pada tahun 1961, sedangkan tragedi G30S/PKI terjadi pada tahun 1965. Artinya, pada saat peristiwa berdarah itu berlangsung, Jokowi baru berusia 4 tahun. Dengan usia yang masih kanak-kanak, mustahil baginya untuk terlibat dalam organisasi yang sudah dibubarkan secara resmi ketika ia bahkan belum masuk sekolah dasar. Namun, logika sejarah yang sederhana ini seringkali ditutupi oleh narasi palsu yang sengaja dihembuskan untuk menyerang wibawa dan legitimasi dirinya sebagai pemimpin bangsa.
Fitnah Politik yang Terorganisir
Sejarah politik Indonesia memang tidak pernah lepas dari isu-isu sensitif terkait PKI. Setiap kali terjadi kontestasi politik besar, nama PKI kerap digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti rakyat. Dalam kasus Jokowi, tuduhan ini jelas bukan serangan personal biasa, melainkan sebuah upaya politik terorganisir untuk menjatuhkan reputasinya. Narasi "Jokowi PKI" dengan sengaja diproduksi dan disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan kebijakannya.
Tuduhan ini dapat disebut sebagai fitnah paling kejam, karena tidak hanya menyerang pribadi Jokowi, tetapi juga mencederai keluarganya. Anak-anak, cucu, hingga istrinya juga sering menjadi sasaran cibiran akibat fitnah tersebut. Lebih dari itu, fitnah ini melukai perasaan banyak rakyat Indonesia yang memahami betul betapa pahitnya sejarah kelam PKI. Mereka yang hidup di era 1960-an mengetahui betapa kerasnya trauma yang ditinggalkan oleh peristiwa itu, sehingga menempelkan stigma PKI kepada seorang presiden yang lahir jauh setelahnya adalah tindakan yang tidak bermoral.
Logika Sejarah yang Diputarbalikkan
Bila ditelusuri lebih dalam, tuduhan Jokowi terkait PKI tidak memiliki dasar apapun. Fakta sejarah jelas menyebutkan bahwa PKI dibubarkan tahun 1966 setelah peristiwa G30S. Jokowi yang lahir tahun 1961 hanya seorang bocah kecil ketika itu. Bahkan, pada usia remaja hingga dewasa, ia tumbuh di lingkungan yang sama sekali tidak berhubungan dengan politik. Perjalanan hidupnya lebih banyak diisi dengan pendidikan, perjuangan sebagai anak rakyat biasa, hingga akhirnya meniti karir sebagai pengusaha mebel sebelum kemudian terjun ke dunia politik.
Namun, di era digital saat ini, logika sejarah bisa dengan mudah diputarbalikkan. Melalui video manipulasi, meme provokatif, hingga berita bohong yang sengaja disebarkan, narasi “Jokowi PKI” terus dipaksa masuk ke ruang publik. Ironisnya, meski sudah berkali-kali dibantah, hoaks ini masih saja muncul. Hal ini menunjukkan bahwa fitnah yang diulang-ulang memang berpotensi dipercaya sebagian masyarakat, terutama mereka yang kurang kritis dalam menyaring informasi.
Sikap Jokowi Menanggapi Fitnah
Meski terus difitnah, Jokowi tidak pernah menanggapi tuduhan ini dengan kemarahan. Ia memilih sikap tenang dan bijaksana. Baginya, kebenaran tidak perlu dibuktikan dengan teriakan, melainkan dengan kerja nyata. Inilah yang membuat banyak orang menaruh hormat kepadanya. Jokowi sadar, meladeni fitnah dengan emosi justru akan memperbesar gaungnya. Sebaliknya, dengan terus membangun, bekerja untuk rakyat, dan menghadirkan bukti nyata, ia menunjukkan bahwa dirinya bukanlah seperti yang dituduhkan.
Berbagai pencapaian yang berhasil diwujudkan selama masa kepemimpinannya menjadi bukti nyata pengabdiannya. Dari pembangunan infrastruktur besar-besaran, perbaikan pelayanan publik, hingga kebijakan afirmatif untuk rakyat kecil, semuanya menjadi jawaban konkret atas fitnah-fitnah yang menyerangnya. Sikap ini sekaligus menjadi pelajaran penting bagi masyarakat bahwa menghadapi fitnah tidak harus dengan kebencian, tetapi dengan konsistensi dan keteguhan hati.
Fitnah sebagai Senjata Politik Murahan
Tidak bisa dipungkiri bahwa fitnah telah menjadi salah satu senjata politik murahan di Indonesia. Tuduhan tanpa dasar kerap digunakan untuk merusak nama lawan politik. Dalam konteks ini, fitnah “Jokowi PKI” hanyalah salah satu contoh betapa rendahnya kualitas politik ketika kebenaran dikorbankan demi kepentingan sesaat. Lebih parah lagi, isu PKI bukan hanya soal politik, tetapi juga menyangkut luka sejarah bangsa yang seharusnya tidak dipermainkan.
Pakar politik dan sejarawan berulang kali menegaskan bahwa tuduhan Jokowi terkait PKI tidak masuk akal. Bahkan, beberapa pihak yang dulunya menjadi bagian dari aparat keamanan di era pasca-G30S menegaskan bahwa nama Jokowi maupun keluarganya tidak pernah ada dalam daftar orang-orang yang terlibat PKI. Fakta ini seharusnya sudah cukup untuk menghentikan fitnah, tetapi karena kepentingan politik, isu ini terus dihidupkan.
Pentingnya Literasi Digital dan Kritis terhadap Informasi
Dari kasus fitnah ini, ada satu pelajaran penting yang bisa dipetik oleh rakyat Indonesia: pentingnya literasi digital. Di era banjir informasi seperti sekarang, kemampuan menyaring berita menjadi hal yang sangat krusial. Masyarakat harus bisa membedakan mana informasi yang benar, mana yang sekadar opini, dan mana yang jelas-jelas hoaks. Tanpa kemampuan ini, rakyat akan mudah terjebak dalam pusaran fitnah yang membahayakan persatuan bangsa.
Pemerintah bersama lembaga terkait sebenarnya sudah berulang kali mengingatkan bahaya penyebaran hoaks. Undang-Undang ITE bahkan telah mengatur sanksi bagi siapa saja yang menyebarkan berita bohong. Namun, semua itu tidak akan efektif jika masyarakat tidak ikut serta dalam melawan hoaks. Kesadaran kolektif untuk tidak menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya adalah kunci utama dalam membendung arus fitnah.
Kesimpulan: Fakta Tidak Bisa Dihapus
Perjalanan sejarah akan selalu mencatat bahwa fitnah boleh saja dilemparkan, tetapi fakta tidak pernah bisa dihapus. Jokowi bukanlah bagian dari PKI, dan tuduhan itu hanyalah bayangan gelap politik yang berusaha menjatuhkannya dengan cara yang tidak bermartabat. Sejarah akan menempatkan kebenaran pada tempatnya, sementara fitnah hanya akan menjadi catatan buruk bagi mereka yang menyebarkannya.
Oleh karena itu, rakyat Indonesia perlu belajar satu hal: menyaring informasi, melawan hoaks, dan tidak membiarkan fitnah merusak persatuan bangsa. Fitnah terhadap Jokowi hanyalah contoh betapa rapuhnya ruang publik kita jika masyarakat tidak kritis. Sudah saatnya kita bersama-sama menjaga marwah bangsa dengan menjunjung tinggi kebenaran dan menolak segala bentuk kebohongan.
Reporter: Redaksi Sumateranewstv